Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA berkumpul di sebuah rumah di Dukuh Cihideung, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Setelah berjam-jam bertukar pikiran, Rabu malam pekan lalu 43 keluarga korban ”kasus Talangsari” itu mengambil putusan. Mereka akan mendesak digelarnya pengadilan atas kasus Talangsari, peristiwa yang membuat mereka menderita. ”Kami tetap meminta adanya pengadilan,” kata Azwar, 64 tahun, salah satu korban.
Talangsari adalah satu dari sekian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang potensial menjadi pekerjaan rumah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lembaga yang dibentuk atas perintah Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ini memiliki tugas pokok menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar jalur pengadilan.
Menurut Sidarto Danusubroto, bekas Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran, tugas lembaga ini memang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum ada Undang-Undang Pengadilan HAM. Ada beberapa kasus yang sudah ”diincar” untuk ditangani komisi ini, antara lain peristiwa 1965, kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari, dan kasus penculikan para aktivis.
Menurut calon anggota Komisi Kebenaran, Stanley Adiprasetyo, semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diselesaikan lewat Komisi Kebenaran. ”Tapi kini berantakan setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang KKR,” ujarnya.
Salah satu yang kecewa dengan lenyapnya undang-undang itu, ya, para korban kasus Talangsari. Menurut Azwar, sebagian korban kasus Talangsari memang sangat berharap kasus mereka diselesaikan oleh Komisi Kebenaran. ”Tapi, karena sudah dibatalkan, sekarang mau tidak mau harus lewat pengadilan,” ujarnya.
Kasus Talangsari bermula dari penyerbuan aparat keamanan ke pondok pengajian di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Penyerbuan yang terjadi pada 7 Februari 1989 itu menewaskan 246 orang dan membuat puluhan rumah penduduk habis terbakar. Pu-luhan warga ditangkap dan diinterogasi di Markas Komando Resor Garuda Hitam. Bertahun-tahun kemudian, seiring perubahan zaman, warga korban kasus Talangsari ini menuntut pelaku penyerbuan diadili.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, sempat terjadi islah (perdamaian) antara sebagian korban dan bekas Komandan Korem Garuda Hitam, A.M. Hendropriyono. Tapi mereka yang bersedia islah jumlahnya kecil, sekitar 30-an dari total 270-an orang yang menyatakan diri korban Talangsari. Mereka yang bersedia islah dijanjikan akan menerima sejumlah kompensasi. Tapi, belakangan, sejumlah warga yang setuju islah pada Juli 1998 itu menuntut kasus ini dibawa ke pengadilan. ”Mungkin karena janji adanya kompensasi tak terbukti,” kata Azwar.
Sampai kini tak banyak kemajuan dalam pengusutan ”kasus Talangsari” ini. Menurut Kepala Operasional Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indria Fernida, kasus ini masih diselidiki Komnas HAM. ”Kasus ini harus terus dikawal. Kalau tidak, bisa mandek,” ujarnya. Sejak 2005, sudah lima kali Kontras bersama keluarga korban Talangsari menagih perkembangan kasus ini ke Komnas HAM.
Mochamad Farid, anggota Komnas HAM, mengatakan hasil kerja tim Talangsari sudah selesai pertengahan 2006. Tim Talangsari ini diketuai Eny Suprapto dan beranggota, antara lain, Mayor Jenderal (Purn.) Sjamsoedin. Cuma, bagaimana hasilnya, Mochamad Farid tak bersedia membuka. ”Tim masih melakukan analisis hukumnya,” katanya.
Menurut Azwar, harapan keluarga korban atas penyelesaian kasus ini bermacam-macam. Sebagian, misalnya, menginginkan adanya ganti rugi karena rumahnya pernah habis dibakar dan hartanya ludes. Azwar sendiri kehilangan anaknya, Warsito, 11 tahun. Bocah itu kini hilang entah ke mana. Selain kehilangan Warsito, rumahnya juga rata dengan tanah dibakar aparat. Azwar juga sempat berkali-kali mendekam di tahanan Korem Garuda Hitam untuk menjalani pemeriksaan. ”Saya hanya ingin keadilan ditegakkan,” katanya.
Abdul Manan, Nurrochman (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo