Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

YLBHI: Banyak Remaja Dijerat Penodaan Agama dengan UU ITE

YLBHI melihat ada tren penggunaan UU ITE untuk membidik terduga pelaku penodaan agama.

4 Juli 2021 | 15.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan ada tren penggunaan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat para pelaku penodaan agama. Para pelaku banyak yang masih berusia remaja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Terjadi perubahan dalam penanganan kasus, bukan hanya menggunakan KUHP, tetapi juga UU ITE,” kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam peluncuran Laporan Penodaan Agama di Indonesia Sepanjang 2020 secara daring, Ahad, 4 Juli 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YLBHI mencatat terdapat 67 kasus penodaan agama pada akhir 2020. Dari 67 kasus itu, sebanyak 32 kasus masuk proses penyidikan menggunakan UU ITE. Pasal yang paling sering digunakan adalah Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) UU ITE. Pasal itu mengatur tentang ujaran kebencian.

Pelaku yang dijerat dengan pasal UU ITE semuanya berawal dari unggahan di media sosial. Para pelaku yang dijerat kebanyakan remaja. Ada 8 orang tersangka di bawah 18 tahun, 2 orang berusia 19 tahun, 2 orang berusia 20 tahun dan 2 orang berusia 21 tahun.

Asfinawati mengatakan mirisnya ada beberapa pelaku yang terkena kasus penodaan agama, meskipun hanya berawal dari candaan di media sosial. Misalnya, kata dia, ada seorang remaja umur 16 tahun yang memelesetkan lagu Aisyah di TikTok dijerat dengan pasal penodaan agama. “Dahulu orang bisa berdebat tentang orang yang mengaku nabi itu penodaan agama atau bukan, sekarang orang yang bercanda saja terkena penodaan agama,” kata dia.

Parahnya, kata dia, kebanyakan kasus penodaan agama dengan UU ITE ini kemudian ditangani oleh kepolisian karena tekanan massa. Sebanyak 40 dari 67 kasus diproses karena dianggap mengancam ketertiban masyarakat. Bahkan, kata Asfinawati ada 24 kasus yang diakui oleh polisi harus diusut agar masyarakat tidak main hakim sendiri.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus