Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>YAMAN</font><br />Setelah Presiden Terluka

Situasi Yaman kian panas setelah Presiden Ali Abdullah Saleh dirawat di Arab Saudi karena terkena pecahan roket. Keluarga Saleh masih mengendalikan militer dan pemerintahan.

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara raungan ambulans ditingkahi letusan senapan bergema di Sanaa, ibu kota Yaman, Rabu pekan lalu. Pasukan pemerintah bertempur melawan pemberontak, yang berusaha menduduki kantor-kantor pemerintahan. Penduduk yang ketakutan mengungsi ke desa-desa sekitar. Di bagian lain kota, rakyat berunjuk rasa menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh turun dari takhta. Sang penguasa sedang dirawat di Riyadh, Arab Saudi, karena terkena pecahan roket yang menghantam istana pada Jumat dua pekan lalu.

”Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk membuat perubahan,” kata Riyad Zindani, 23 tahun, mahasiswa Universitas Sanaa, yang ikut berunjuk rasa.

Kelompok oposisi menyampaikan keinginan adanya pemerintahan transisi kepada Wakil Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, yang memegang tampuk pemerintahan sementara. Hadi menolak permintaan itu. ”Tak ada pembicaraan mengenai pemerintahan transisi sampai Presiden Saleh kembali,” ujarnya.

Menurut berbagai sumber, salah satunya pejabat Amerika Serikat, Presiden Saleh menderita luka bakar pada wajah dan dada serta ada pecahan peluru yang menembus dekat jantungnya. Kalaupun Presiden Saleh pulang, kelompok oposisi ragu akan kesehatan fisik sang presiden dalam memimpin negara.

Absennya Presiden Saleh meningkatkan gerakan kelompok separatis dan kelompok oposisi dengan beragam ideologi yang muncul secara sporadis di negara berpenduduk 23 juta jiwa itu.

Di Zinjibar misalnya. Ibu kota Provinsi Abyan, Yaman bagian selatan, yang berjarak 480 kilometer di sebelah selatan Sanaa, itu menjadi ajang pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok Al-Qaidah, yang menguasai kota itu sejak dua pekan lalu. Dalam baku tembak tersebut, 30 orang dari kelompok Al-Qaidah tewas, salah satunya pemimpin lokal senior bernama Hassan al-Aqili. Di pihak pemerintah, tujuh tentara tewas dan 12 orang mengalami luka, termasuk penduduk.

Di Taiz, kota ketiga terbesar di Yaman, yang terletak di pegunungan, hampir 200 kilometer dari Sanaa, pemberontak bersenjata dan tentara terlibat baku tembak sejak Senin malam hingga Selasa pekan lalu. Empat tentara dan dua penduduk setempat tewas, 10 orang terluka, termasuk perempuan dan anak-anak. Selama empat bulan terakhir, Taiz memang menjadi salah satu titik pemberontakan.

Rezim Saleh berupaya mempertahankan kekuasaan melalui keluarganya. Putranya, Ahmed bin Saleh, adalah pemimpin Garda Republik. Sepupunya, Yahya dan Amar, mengendalikan elemen-elemen penting dalam pasukan keamanan. Seorang saudara Saleh lainnya memimpin angkatan udara Yaman. Kendati Wakil Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi adalah orang yang memegang kekuasaan sementara, sebenarnya keluarga Salehlah yang memegang kendali.

Desakan kepada Saleh agar mundur tak hanya berasal dari kelompok oposisi dan pemberontak separatis. Arab Saudi, negara-negara di Teluk, Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat terus meminta Saleh mengakhiri kekuasaannya. Negara-negara ini mempunyai kepentingan karena adanya kelompok Al-Qaidah di negara itu. Ketidakstabilan dikhawatirkan bakal mempermudah gerak jaringan Al-Qaidah dan mengancam keamanan negara-negara tetangga, seperti Arab Saudi dan negara produsen minyak di Teluk.

Negara-negara Barat dan tetangga Yaman mendesak Presiden Saleh menyepakati perjanjian yang telah dirundingkan dengan Dewan Kerja Sama Negara-negara di Teluk. Berdasarkan perjanjian itu, Saleh mesti menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya dengan jaminan mendapat amnesti dari tuntutan hukum. Sebelum terluka, Saleh beberapa kali setuju untuk menandatangani kesepakatan itu, tapi kemudian urung.

Di Gedung Putih, Menteri Luar Negeri Hillary Rodham Clinton menyatakan inilah waktunya membuat pemerintahan sementara dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam periode 90 hari. ”Menurut kami, transisi yang dilakukan dengan segera adalah hal terbaik bagi rakyat Yaman,” kata Hillary.

Juru bicara Presiden Yaman, Ahmed al-Sufi, menanggapi sinis imbauan itu. Ia menyindir pemerintah Amerika yang sangat tertarik dengan pengalihan kekuasaan. ”Itu sebabnya mereka membuat cerita soal kesehatan Presiden Saleh. Kami yakin, dalam seminggu ini, dia akan pulang,” katanya.

Nieke Indrietta (Al-Jazeera, The Guardian, Reuters, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus