Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Loay Harb, perawat yang bekerja di bawah LSM Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas) menceritakan pada rekan-rekannya di Dokter Lintas Batas soal kengerian kondisi di Gaza utara buntut serangan Israel. Baginya, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan buruknya kondisi di Gaza utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harb ditugaskan di Gaza utara untuk memberikan bantuan kesehatan. Dia melihat adanya kekurangan bahan makanan yang signifikan dan betapa sulitnya hidup di wilayah yang terkepung. Di utara Gaza, tak ada listrik, tak ada sambungan internet, tak ada air bersih, tak ada tepung terigu, dan tak ada jalan keluar. Kondisi ini telah membuat mereka yang selamat dari pengeboman Israel menjadi tidak stabil (secara mental). Kemiskinan dan kelaparang mengepung warga Gaza utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter Lintas Batas adalah LSM tingkat internasional. Lembaga nilaba tersebut menekankan mereka nyaris kesulitan melakukan kontak dengan para staf di Gaza. Harb adalah satu dari empat perawat dari Dokter Lintas Batas yang masih bertugas di utara Gaza.
“The current situation in Gaza is catastrophic and words can’t describe it.”
— MSF International (@MSF) March 16, 2024
In rare contact with one of our staff members in northern #Gaza, MSF nurse Loay Harb describes the situation there, including the lack of food and the medical support he provides where he can. pic.twitter.com/7QPldoFavu
Tel Aviv dengan ketat menjaga pintu-pintu perbatasan masuk Gaza yang dikepung oleh Negeri Bintang Daud tersebut, khususnya dibagian utara. Pengepungan total ini telah mengarah pada kondisi yang sangat serius dengan kurangnya pasukan makanan, air bersih, obat-obatan dan suplai bahan bakar. Kondisi ini menciptakan bencana baru, yakni kelaparan.
Setidaknya 27 orang termasuk anak-anak dan lansia, meninggal karena gizi buruk di Jalur Gaza. Populasi di Jalur Gaza sekitar 2.3 juta jiwa, di mana sekitar 2 juta jiwa dari jumlah tersebut dalam kondisi kehilangan tempat tinggal akibat serangan Israel.
Perang Gaza berkecamuk setelah kelompok Hamas melancarkan serangan 7 Oktober 2023 yang diklaim menewaskan hampir 1.200 orang. Padahal jumlah korban tewas itu diyakini teas ditangan pasukan pertahanan Israel (IDF). Lebih dari 31.600 warga Palestina, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas di Gaza. Bukan hanya itu, 73.700 orang mengalami luka-luka. Insfrastruktur di Gaza juga mengalami kerusakan massal.
Afrika Selatan dengan lantang menyebut di Mahkamah Internasional telah terjadi genosida. Dalam putusannya pada Januari 2024, Mahkamah Internasional memerintahkan Tel Aviv agar berhenti malakukan segala tindakan genosida dan melakukan langkah-langkah yang bisa menjamin bantuan kemanusiaan untuk warga sipil masuk ke Gaza. Pemerintah Afrika Selatan yang mengajukan kasus ini menyebut Tel Aviv tidak menjalankan putusan Mahkamah Internasional.
Sumber: middleeastmonitor.com
Pilihan editor: Luka Psikologis Mendorong Anak-anak di Gaza Ingin Bunuh Diri
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini