Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KOMISI Pemilihan Umum telah melakukan kesalahan karena menyederhanakan verifikasi faktual terhadap partai politik calon peserta Pemilihan Umum 2019. Tidak hanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan verifikasi faktual semua partai, langkah KPU ini bisa mengancam keabsahan hasil pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Verifikasi faktual sesungguhnya instrumen penting bagi penyelenggara pemilu untuk memastikan kelayakan partai mengikuti pemilihan. Syarat kelayakan itu antara lain memiliki pengurus di setiap provinsi, memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan, dan memiliki sekurangnya seribu anggota di kabupaten atau kota. Karena alasan ini, Mahkamah Konstitusi merevisi ketentuan verifikasi faktual dalam Undang-Undang Pemilu, dari yang semula hanya untuk partai baru menjadi untuk semua partai calon peserta Pemilu 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sangat disayangkan, KPU tak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat serta derajatnya setara dengan undang-undang itu. Komisi, yang sejatinya merupakan lembaga independen, justru lebih mendengarkan suara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya menghendaki verifikasi faktual tak perlu diterapkan pada 12 peserta Pemilu 2014, tapi hanya untuk empat partai baru. Dengan dalih keterbatasan waktu dan anggaran, KPU menyederhanakan verifikasi faktual 12 partai lama dengan cara menggunakan metode sampling.
Verifikasi dengan cara seperti itu sulit dipertanggungjawabkan. Apalagi KPU begitu banyak memberi kelonggaran kepada partai. Salah satu contohnya, partai memilih sendiri sampel keanggotaan di kabupaten atau kota. Petugas Komisi juga tak lagi menyambangi rumah anggota partai, tapi cukup memverifikasi mereka di kantor pengurus daerah. Metode verifikasi seperti ini rawan akal-akalan. Partai bisa saja merekayasa data keanggotaannya.
Bisa dibayangkan runyamnya republik ini bila partai yang lolos verifikasi semacam itu menjadi pemenang pemilu. Keabsahan partai itu bakal mudah digugat, lalu kemenangannya dibatalkan. Jika ini yang terjadi, sia-sialah jerih payah menyelenggarakan pemilu. Yang lebih buruk, sengkarut seperti itu akan mudah memicu kekacauan politik.
Komisioner KPU saat ini perlu belajar kepada pimpinan periode sebelumnya. Saat itu, KPU benar-benar menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan verifikasi faktual terhadap semua partai calon peserta pemilu, tak hanya terbatas pada partai baru. Bahkan ketika itu jumlah partainya mencapai 34, dua kali lipat dibanding jumlah yang ada saat ini. Dari jumlah tersebut, KPU hanya meloloskan sepuluh partai yang dianggap memenuhi syarat sebagai calon peserta pemilu. Sisanya, sebanyak 24 partai, tereliminasi. Belakangan, putusan Badan Pengawas Pemilu dan pengadilan meloloskan dua partai lagi menjadi peserta Pemilu 2014.
KPU sebenarnya bisa mengatur batas waktu verifikasi faktual 12 partai lama. Peluang untuk itu terbuka karena Undang-Undang Pemilu tak mengaturnya. Ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu yang menyebutkan penetapan peserta Pemilu 2019 dilakukan pada 17 Februari nanti berlaku hanya untuk partai baru. Undang-Undang Pemilu memberi ruang gerak KPU untuk membuat jadwal tersendiri verifikasi faktual untuk 12 partai lama.
Dengan melakukan verifikasi faktual, KPU tidak hanya menjaga kualitas demokrasi di negeri ini, tapi juga memberi perlakuan yang sama kepada partai peserta pemilu. Pemerintah dan DPR harus mendukung upaya ini dengan menyetujui penambahan anggarannya.