Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dilema Demokrasi Indonesia

Indonesia disebut negara demokrasi, tapi di saat bersamaan pranata menjadi negara antidemokrasi juga kuat. Mengapa?

17 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA kini menjadi negara dengan keunikan yang mengkhawatirkan: secara formal ia punya semua ornamen menjadi negara demokratis, tapi pada saat yang sama, secara praktis, Indonesia makin memenuhi syarat menjadi negara nondemokratis yang diatur oleh kekuasaan otoriter. Keadaan ini melahirkan apa yang saya sebut sebagai “ambiguitas otoritarian”, yakni praktik memanipulasi demokrasi secara substansial melalui aspirasi sisi prosedural.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas kertas, secara resmi, Indonesia diakui sebagai negara demokrasi. Ia punya pranata ketatanegaraan demokratis yang normal, sistem politik dan kepartaian, plus kuasi-kebebasan sipil. Tapi, dalam praktiknya, kantong-kantong otoritarian terus tumbuh dengan subur, merusak dan mempersempit ruang kewargaan. Di kalangan elite politik dan kelas menengahnya berkembang ide-ide otoritarian yang menjustifikasi penghapusan pembatasan masa kekuasaan presiden, tak merasa bermasalah dengan partai politik yang kehilangan martabat karena elitenya dibelenggu persoalan hukum, tak peduli meski lembaga-lembaga demokrasinya hidup tapi kehilangan independensi. Kebudayaan kewargaan digerogoti oleh klientelisme. Sementara itu, aparaturnya bekerja lebih sebagai perpanjangan tangan penguasa ketimbang alat negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia adalah negara yang menjunjung hak asasi manusia, tapi juga cuma di atas kertas. Konstitusinya memang menjamin pelindungan hak asasi manusia, ada undang-undang tentang HAM, ada ratifikasi kovenan-kovenan utama hak asasi. Dalam soal keadilan transisi, Indonesia malah punya pengadilan HAM ad hoc yang mengadili pelbagai kasus, dari pelanggaran HAM di Timor Leste (1999-2002) hingga pengadilan HAM ad hoc kasus pembunuhan di Paniai, Papua. 

Tapi tidak ada satu pun pengadilan kasus itu berhasil menghukum para pelaku utamanya. Sebagaimana di Filipina, Korea Selatan, Cile, dan Argentina yang merupakan negara-negara “jebolan” “Demokratisasi Gelombang Ketiga”-nya Samuel Huntington, Indonesia juga sempat berhasil membawa mantan diktatornya ke hadapan pengadilan. Sekalipun pada akhirnya ia dibebaskan lagi oleh surat Jaksa Agung tanggal 11 Mei 2006 dengan alasan menurunnya kesehatan. Di luar mekanisme yudisial, Indonesia juga pernah punya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sayangnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. 

Walhasil, Indonesia memiliki inisiatif yang kuat untuk membangun kelembagaan demokrasi dan pelbagai mekanisme untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia, tapi pada saat yang sama semua inisiatif itu dibuat dengan maksud untuk gagal.

Salah satu pangkal munculnya ambiguitas otoritarian bisa dirujuk dari desain kebijakan politik dan ketatanegaraan kita yang terpaku pada ide institusionalisme. Kata Adam Przeworski (1991), “Democracy is consolidated when under given political and economic conditions a particular system of institutions becomes the only game in town, when no one can imagine acting outside of the democratic institutions, when all the losers want to do is to try again within the same institutions under which they have just lost.” Kalau berpatokan pada definisi institusionalisme Przeworski,  demokrasi Indonesia tidak memiliki masalah dan telah memenuhi syarat sebagai negara yang berhasil melalui periode transisi dan konsolidasi demokrasi, menuju demokrasi yang lebih solid dan matang.

Kesetiaan elite Indonesia pada prosedur demokratis boleh dibilang kuat. Tapi, jangan salah, definisi Przeworski ini definisi demokrasi minimalis. Ia mengesampingkan fakta dan pengalaman pembalikan demokrasi di banyak negara tempat prosedur demokrasi dipakai untuk mengembalikan kekuasaan otoritarian. Di Indonesia, ide otoritarian untuk memperpanjang masa jabatan presiden serta pelbagai undang-undang draconian dan politik pembangunan neo-Orde Baru direncanakan juga melalui prosedur demokrasi. 

Faktor yang lebih struktural menguatnya ambiguitas otoritarian juga bisa dirujuk dari sejarah transisi politik Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan Orde Baru. Setelah Soeharto jatuh, keadilan transisi, baik ide, praktik, maupun kerangka institusionalnya, merupakan agenda yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok oposisi, terutama oleh lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, serikat buruh, dan gerakan mahasiswa. 

Ide transisi dari bawah ini kemudian diadopsi oleh aktor-aktor baru yang terkait dengan partai politik. Tatkala aktor-aktor oposisi akhirnya masuk struktur rezim baru setelah Pemilihan Umum 1999, mereka ikut mendukung langkah-langkah keadilan transisi. Keadilan transisi dan politik ingatan sempat menjadi bagian penting dari tatanan politik baru pasca-Soeharto, yang disetujui oleh semua orang, termasuk unsur-unsur dari rezim yang akan berakhir. 

Boleh dikatakan, setidaknya pada periode pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, politik ingatan sempat muncul sebagai semangat yang kuat, baik di masyarakat sipil maupun di pemerintahannya. Sayangnya, pemerintahan Gus Dur hanya berumur pendek. Setelah periode itu, seiring dengan munculnya pranata-pranata demokrasi baru yang penting seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, sistem multipartai, dan pemilihan presiden langsung, garis pemisah antara kekuatan rezim lama dan kekuatan demokrat baru juga runtuh: mana Orde Baru dan mana bukan Orde Baru remang dan kabur. Pada akhirnya pemerintahan-pemerintahan baru berturut-turut mengakomodasi dan menyerap semua kekuatan politik utama, sehingga menghasilkan stabilitas yang kuat dalam transisi Indonesia (Aspinall, 2010). 

Lebih jauh lagi, stabilitas seperti ini juga berhasil menarik apa yang disebut Aspinall sebagai para “spoilers” atau pengganggu di dalam sistem politik baru: Spoilers have been accommodated and absorbed into the system rather than excluded from it, producing a trade-off between democratic success and democratic quality (Aspinall, 2010). 

Para pengganggu yang berasal dari kekuatan Orde Baru diakomodasi dan diserap ke dalam sistem, bukannya dikeluarkan dari sistem, sehingga menghasilkan trade-off antara keberhasilan demokrasi dan kualitas demokrasi. Ini yang membedakan pengalaman Indonesia dengan pengalaman negara-negara eks komunis, di sana transisi menuju demokrasinya menyertakan “lustrasi”, mekanisme seleksi di Eropa, yang membatasi keterlibatan pengganggu dari rezim lama agar tidak masuk ke kepolitikan baru dan dunia publik. Di Indonesia, para penyokong Soeharto masih diberi dan mendapat tempat terhormat dalam jabatan-jabatan publik. Wajar bila kini, dengan datangnya generasi baru, sejarah kekerasan Orde Baru tinggal cerita lama dari generasi lampau.

Ambivalensi otoritarian juga tecermin dalam pemikiran mutakhir Marcus Mietzner, peneliti Australian National University. Ia berkesimpulan, demokrasi Indonesia dirusak oleh elite tapi diselamatkan juga oleh elite akibat kompetisi yang keras di antara mereka. Menurut dia, kompetisi antarelite telah sedemikian rupa membatasi autokratisasi di Indonesia.

Mietzner menyimpulkan: In the Indonesian case, elites with a range of vested interests have been the main actors behind both the country’s democratic decline and its continued survival as an electoral democracy (Third World Quarterly, 2024). Ia menyederhanakan dan mengukur kualitas demokrasi Indonesia sebatas urusan elektoral: selama pemilu rutin, demokrasi baik-baik saja. Ia mengesampingkan fakta bahwa selain karena kepentingan masing-masing, keputusan segelintir kecil elite menolak perpanjangan masa jabatan Jokowi hanya mungkin terjadi karena adanya ancaman munculnya perlawanan besar dari dalam masyarakat, yang didahului oleh desakan dan protes keras dari kalangan civil society, disuarakan lantang oleh media seperti Tempo. 

Kedua, kontinuitas demokrasi elektoral tidak bisa disejajarkan dan tidak mengobati decline dalam demokrasi “substansial” yang terjadi di era Jokowi. Di sini ambivalensi otoritarian Mietzner selaras dengan pendapat Ben Bland yang berupaya menghapus kekhawatiran orang mengenai hasil Pemilu 2024 dengan argumen bahwa demokrasi Indonesia sudah cukup kuat untuk menahan orang kuat (Foreign Affairs, 13 Februari 2024).

Ambiguitas otoritarian dan kemerosotan demokrasi di Indonesia hanya bisa dihadapi dengan determinisme politik. Determinisme di sini tidak dapat dibasiskan pada ilusi institusional atau pada perasaan bahwa secara institusional toh semua baik-baik saja, melainkan pada politik yang lebih progresif. Politik yang progresif harus dimulai dengan kritik terhadap struktur sambil mencari titik dobrak melalui simpul terlemahnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ambiguitas Otoritatrian"

Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus