Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
*) Wartawan
SEBAGAI bangsa, Indonesia masih berusia muda, terutama bila dibanding negara-negara besar di dunia dalam merumuskan, membangun, dan menjalani kontrak sosial secara kolektif, hal yang sering disebut sebagai negara bangsa (nation state), pada beberapa abad silam. Hingga awal abad ke-20, Indonesia—negeri kepulauan yang panjangnya setara dengan jarak London dan Teheran dengan potensi aneka ragam budaya, ras, suku, dan agama di dalamnya—masih berupa negara bangsa yang dibayangkan.
Keragaman tersebut, ternyata, bukan faktor penyebab penting, apalagi satu-satunya, kenapa negara ini pernah terbelah-belah dan lemah. Pendidikan modern dan pengalaman sebagai negeri terjajah selama tiga abadlah yang, antara lain, mengantarkan kaum terpelajar-aktivis organisasi sipil memasuki kesadaran baru untuk ”menjadi Indonesia ”—meminjam istilah Erich Fromm.
Tanpa bingkai pemikiran ini, serasa absurd ketika kita membaca peristiwa bersejarah Kongres Pemuda di Waltevreden (kini Jakarta), 82 tahun silam. Momentum itu melahirkan deklarasi yang sangat terkenal, yakni: Pertama, Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Air Indonesia; Kedua, Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Ketiga, Kami Poetra dan Poetri Indonesia menjoenjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Ini kisah lama. Tapi, elan vital Sumpah Pemuda sebagai momentum ”kebangsaan” dan peristiwa bahasa penting terasa relevan ketika Indonesia yang tak lagi imajinatif ini seperti tak memiliki catatan progresif sebagai negara bangsa. Mungkin benar, sebagian besar masyarakat kita belum sampai ke pemahaman paripurna tentang nation state. Penyebabnya jamak, seperti kebodohan atau fanatisme terhadap doktrin tertentu.
Maka, berbagai konflik sosial yang dilatarbelakangi perbedaan agama atau keyakinan tertentu di lapis bawah seperti terjadi akhir-akhir ini senantiasa bersifat potensial. Hal itu setara dengan yang terjadi di level elite, yakni tindak korupsi secara gila-gilaan dan kebijakan eksplorasi sumber daya alam yang merugikan Indonesia, baik secara lingkungan maupun sosial-budaya-ekonomi. Yang terakhir ini, mengingat kaum elite pada umumnya terpelajar, merupakan manifestasi paling mengerikan tentang stagnasi wacana ”menjadi Indonesia” dalam tatanan negara bangsa.
Tak sekadar menjadi momentum bagi cikal bakal kelahiran lingua franca, Sumpah Pemuda adalah sebuah tanda zaman, yakni tetenger yang menandai era pembelajaran paling dini masyarakat heterogen di negeri ini untuk menjadi sebuah bangsa. Momentum tersebut bisa kita sebut sebagai katalisator ke arah pembentukan negara bangsa. Peranan bahasa ibu dalam konteks itu, apalagi sejak ditetapkan sebagai bahasa negara, menjadi sepenting gagasan nation state itu sendiri.
Dan, inilah perkembangan paling positif dari proses ”menjadi Indonesia”, karena konsep negara bangsa dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditulis dalam bahasa Indonesia. Itulah kenapa, bisa jadi, upaya-upaya ideologisasi tentang konsep negara yang disertai pemunculan nomenklatur baru yang bertentangan dengan konstitusi yang sah akan dianggap sebagai bukan Indonesia.
Peristiwa Proklamasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 7 Agustus 1949 mungkin merupakan contoh paling menarik dalam hal ini. Kata ”darul”, sebagaimana ”qonun asasi” (konstitusi DI), tidak dikenal dalam nomenklatur Indonesia. Mereka beranggapan bahwa upaya pendirian Negara Islam Indonesia (NII) adalah tindakan legal lantaran Indonesia sebagai negara pada waktu itu telah bangkrut—akibat dipecah-pecah Belanda menjadi Republik Indonesia Serikat.
Kecenderungan orientasi komunitas pengikut NII terhadap konsep ummah dan mengingkari keniscayaan Indonesia menjadi sebuah negara bangsa sudah tumbuh pada masa penjajahan Belanda. Mereka selalu menghadapkan secara keras realitas sosial politik yang heterogen kepada ideologi Islam. Di era pascakemerdekaan, dalam catatan Taufik Abdullah (1987), pandangan itu melahirkan sikap fundamentalitik, yakni mengharuskan kemutlakan dalam pelaksanaan syariah Islam secara utuh dan total serta mengingkari secara total pula keabsahan kekuasaan yang dianggap tidak berlandaskan hukum dan ajaran Islam.
Penolakan untuk ”menjadi Indonesia” semacam itu, belakangan, tampak pada gerakan Republik Maluku Selatan, Gerakan Papua Merdeka, atau Gerakan Aceh Merdeka, sekadar menyebut beberapa. Pembacaan yang gagal dalam melihat Indonesia seperti itu setara dengan cara berpikir para koruptor.
Peristiwa bahasa dalam konteks politik, dan beberapa contoh manifestasi pemahaman yang pincang tentang negara bangsa, adalah refleksi dari sikap heterodoks dan ahistoris sebagian masyarakat terhadap arus besar ”menjadi Indonesia”. Kita bisa menganggap catatan-catatan sejarah tersebut sebagai tanda zaman, yakni tetenger bahwa proses menuju pemahaman negara bangsa belum selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo