Tatkala saya membaca Laporan Utama, TEMPO, 17 Desember, tentang film Catatan Si Boy II dan segala "dampak"-nya, saya teringat adik-adik saya yang masih bocah. Mereka waktu itu habis menonton satu film petualangan atau tokoh legenda tertentu. Sehabis menonton, mereka juga kepingin sekali menjadi seperti tokoh dalam film yang baru saja mereka lihat. Bahkan tak hanya sampai di situ. Mereka juga ingin mempraktekkan peri laku sang tokoh dalam suatu permainan. Singkatnya, mereka mengidealkan sang tokoh. Pengalaman itu ternyata terulang dalam Laporan Utama TEMPO tadi. Si Boy menjadi idola banyak pihak. Bukan saja kaum remaja. Juga ibu-ibu mengidealkan, kalau mempunyai menantu, mereka menginginkan menantu seperti Si Boy. Yakni seorang pemuda dengan titel sejagat kebaikan. Kemudian, para pemuda banyak yang menirukan peri laku Si Boy. Itu memang indah dan ideal. Namun, sering orang lupa bahwa hidup ini diwarnai banyak aspek dan situasi. Apalagi Si Boy itu hanya tokoh dalam film. Sebagai tokoh dalam film, dia kiranya sudah berhasil. Sebab, dia mampu berbicara pada zamannya, dan mampu mempengaruhi situasi. Juga kiranya ini suatu keberhasilan film yang patut dipuji. Kini tentu harus realistis. Sebab, jelas Si Boy merupakan idola pemuda kaya. Sedangkan mereka yang tergolong kelas marginal cukup hanya memimpikan saja. Dan ini memang benar. Apalagi sang produser menjelaskan bahwa film Si Boy ditampilkan untuk memberikan image. Alasannya, karena ia merasa bahwa kaum kaya sering dipojokkan. Namun kini masalahnya bukan hanya sekadar berhenti sampai di situ. Tetapi apakah juga berbicara terhadap mereka yang di lapis bawah. Dilihat dari sudut filmnya sendiri, menurut saya film itu berhasil. Sebab, film itu mampu berbicara pada zamannya. Namun, dalam kaitannya dengan hidup, kiranya belum mampu berbicara. Tingkat Si Boy merupakan level kelas tinggi dengan lingkungan serba "wah". Bedanya, dalam Si Boy dimasukkan unsur-unsur sejagat kebaikan. Sehingga, Si Boy merupakan figur pemuda idaman bagi mereka yang moralistis. Juga, mungkin bagi banyak pemuda kaya Si Boy merupakan sosok yang harus menjadi panutan. Dan itu hanya dapat terjadi dalam sebuah film belaka. Mengapa? Jelas, itu dapat dipahami. Realitas sangat lain dengan cita-cita. Situasi dan kondisi zaman ini kiranya tak memungkinkan untuk kejayaan Si Boy. Atau mungkin paling-paling hanya beberapa atau hanya satu segi tertentu. Kini konflik sosial makin kentara. Banyak orang menjadi apatis dan acuh. Termasuk pemuda-pemuda. Rasa ketakutan makin nyata dalam pikiran mereka: bagaimana harus melanjutkan ke perguruan tinggi, bagaimana harus mencari kerja, dan banyak masalah yang mereka simpan dalam hati. Maka, tak mengherankan tatkala terhidang sebuah film fiktif dengan sejuta impian yang menyejukkan, para pemuda (remaja) berduyun-duyun datang menikmati. Dan mereka memimpikan menjadi Si Boy. Kesenjangan kini terjadi di berbagai bidang. Mampukah Si Boy mendobrak kesenjangan-kesenjangan itu? Sebab, keadaan seperti itulah yang membutuhkan pendobrakan Si Boy yang lain. EKO ALDILANTO Jalan Terusan Rajabasa 4 Malang 65146 Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini