Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam musyawarah nasionalnya yang ke-7, yang berakhir pada Jumat, 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 11 fatwa. Di antara fatwa-fatwa itu, yang boleh dikata men-cerminkan pandangan elite keagamaan Islam Indonesia, Munas kurang lebih telah mengharamkan umat Islam untuk mengikuti tiga paham kontemporer, yaitu sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah reaksi atas timbulnya aliran Islam li-beral yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan NU maupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal Ulil Abshar Abdala. Unsur-unsur -libe-ral dalam kedua organisasi itu, di kalangan konservatif, dianggap membahayakan akidah maupun syariat, namun oleh beberapa tokoh senior dari dalam organisasi itu sendiri didukung, bahkan termasuk yang mendu-duki posisi pimpinan. Aliran ini, berkat kepemimpinan yang dinamis dari tokoh-tokohnya, makin menarik perhatian masyarakat, bahkan dinilai telah mempengaruhi cara berpikir dalam organisasi formal. Gejala inilah yang menimbulkan kegelisahan kalangan MUI, yang secara informal bertindak sebagai ”polisi akidah” atau ”penjaga kemurnian akidah”. Mengapa kegelisahan itu muncul?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo