Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PELARANGAN terhadap individu dengan orientasi seksual berbeda untuk ikut dalam seleksi calon pegawai negeri sipil menunjukkan bahwa negara semakin jauh dari amanat konstitusi. Pemerintah terus melembagakan sikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas, yang dilindungi kedudukannya oleh berbagai perundang-undangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kejaksaan Agung merupakan lembaga terbaru yang melanggengkan tindakan diskriminatif tersebut. Mereka mencantumkan syarat tidak cacat mental, "termasuk tidak memiliki kelainan orientasi seksual dan kelainan perilaku (transgender)", dalam penerimaan pegawai. Berbeda dengan Kementerian Perdagangan, yang mencabut larangan serupa, Kejaksaan berkukuh mempertahankan syarat tersebut hingga pendaftaran ditutup dengan dalih menginginkan calon pegawainya normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kejaksaan sesat pikir ketika mengkategorikan orientasi seksual berbeda sebagai cacat mental. Sikap mereka bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Setengah abad silam, lembaga psikiatri dan psikologi di Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat berturut-turut telah mengeluarkan gay dan lesbian dari kategori penyakit gangguan jiwa. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 1990 mencabut homoseksualitas dari klasifikasi serupa. Begitu pula Kementerian Kesehatan RI telah menghapus kelompok dengan orientasi seksual berbeda dari buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa pada 1993.
Lebih dari itu, Kejaksaan telah menginjak-injak Undang-Undang Dasar 1945. Mereka menerabas banyak pasal dalam konstitusi. Pasal 27 dengan jelas menyatakan semua warga negara memiliki kedudukan yang sejajar di dalam hukum dan pemerintahan. Pasal yang sama juga menjamin hak setiap warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Diskriminasi dalam seleksi calon pegawai negeri sipil ini pun mencederai Pasal 28I ayat 2 konstitusi, yang melindungi hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun.
Sikap pongah Kejaksaan pantas membuat kita semakin khawatir akan nasib perlindungan hak asasi manusia di negeri ini. Semakin hari, diskriminasi justru disuburkan oleh lembaga negara yang semestinya bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Kita belum lupa akan tindakan serupa oleh Kepolisian RI, yang memecat Brigadir TT karena ia gay pada akhir 2018. Upaya hukum TT ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pun kandas lantaran hakim menilai penggugat belum menempuh proses keberatan secara administrasi di lingkup internal Polri-putusan yang layak dianggap mengada-ada.
Pemerintah harus segera menghentikan pelembagaan sikap dan tindakan diskriminatif terhadap warga negara ini. Tak hanya melenceng dari konstitusi, langkah seperti yang dilakukan Kejaksaan malah memupuk stereotip serta kekhawatiran dan perilaku negatif berlebihan terhadap mereka yang memiliki orientasi seksual berbeda (homofobia).
Dua tahun terakhir, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat mencatat 1.226 orang dari kelompok dengan orientasi seksual berbeda telah menjadi korban tindakan persekusi, kekerasan, pengucilan, hingga kriminalisasi. Negara gagal hadir melindungi mereka.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 25 November 2019