Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan agar duet kepemimpinan Mega-Hamzah Haz diakhiri kian marak hari-hari terahir ini. Pelatuk tuntutan ini ditarik oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon. Pertanyaan yuridis yang sangat relevan diajukan: apa dasar hukum yang bisa dipakai, dan bagaimana mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden secara konstitusional?
Pasal 7A UUD 1945 mengatakan, MPR dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Unsur yang terakhir ini jelas tidak bisa dipakai sekarang untuk memberhentikan Mega-Hamzah. Ini karena Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatakan, syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Hingga kini, kita belum memiliki undang-undang tentang persyaratan jadi presiden. Artinya, tidak ada dasar hukum yang bisa dipakai menerapkan unsur ini untuk memberhentikan Mega-Hamzah.
Unsur lain juga belum bisa dipakai untuk menjatuhkan Mega-Hamzah karena belum ada di antara unsur-unsur perbuatan tersebut yang dilabrak oleh keduanya. Kalau toh ada unsur perbuatan yang dinilai telah dilanggar oleh keduanya, itu pun harus dibuktikan dulu secara hukum. Artinya, harus ada due process yang mendahului pemberhentian tersebut.
Soal mekanisme pemberhentian presiden/wakil presiden lebih pelik lagi. Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa usul pemberhentian presiden/wakil presiden diajukan oleh DPR kepada MPR. Namun usul tersebut tidak boleh dilakukan sebelum DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden memang telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
Untuk mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR harus didukung oleh minimal 2/3 jumlah anggota dewan yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR. Bila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presiden/wakil presiden memang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan layak diberhentikan, DPR meneruskan usul pemberhentian tersebut kepada MPR, dan MPR harus mengambil keputusan paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul DPR.
Dalam mengambil keputusan, MPR harus melakukan sidang paripurna yang dihadiri minimal 3/4 dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh minimal 2/3 jumlah anggota yang hadir. Keputusan pemberhentian tersebut harus didahului oleh penyampaian penjelasan presiden/wakil presiden di depan Sidang Paripurna MPR.
Dengan persyaratan serta mekanisme yuridis yang ketat tersebut, usul pemberhentian duet Mega-Hamzah dengan kasus kenaikan harga atau tarif tersebut, secara konstitusional, sangat tertutup. Kalau toh Mega-Hamzah berhenti, mereka berhenti karena mengundurkan diri atau ada situasi force majeure, di mana prinsip-prinsip konstitusi tidak lagi memadai untuk dipakai sebagai acuan untuk bertindak. Kalau ini yang diformatkan, ongkosnya sangat berat dan derita rakyat kian mencekik.
Sekaitan dengan tuntutan pemberhentian duet Mega-Hamzah tersebut, kini tiba-tiba muncul wacana presidium. Ide ini sungguh-sungguh naif, karena selain tidak memperoleh legitimasi dalam konstitusi, juga alasan non-yuridis yang dipakainya sama sekali tidak logis. Masalahnya, presidium itu berarti sebuah tim yang terdiri atas beberapa orang yang silih berganti memimpin untuk waktu tertentu. Untuk memilih orang yang duduk dalam tim saja, akan menimbulkan persoalan yang pelik dan kontroversi karena rakyat akan menyoal dasar penunjukan dan legitimasi orang-orang tersebut. Belum lagi kepentingan pribadi atau kelompok orang yang bakal ditunjuk sebagai presidium itu.
Memang, dalam konstitusi kita, ada ketentuan yang mengatur kepemimpinan kolektif, yakni Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Di situ dikatakan, jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Kepemimpinan kolektif ini hanya boleh berlangsung paling lambat 30 hari karena MPR harus memilih presiden/wakil presiden definitif dalam kurun waktu 30 hari.
Maka, yang paling tepat pilihan bangsa ini ialah mengikuti seruan Nurcholish Madjid bahwa memberhentikan duet Mega-Hamzah di tengah jalan bukan menyelesaikan persoalan bangsa, tetapi kian meruwetkan. Memberi hukuman buat Mega-Hamzah bisa dilakukan lewat Pemilu 2004 dengan cara berkampanye untuk tidak memilih mereka, dan menawarkan program serta metode penyelesaian kemelut bangsa, yang tidak dipunyai oleh Mega-Hamzah. Ini jauh lebih elegan dan tidak menelan ongkos politik yang bisa mencabik-cabik bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo