Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan mata membelalak, dengan teriak, dengan nama Tuhan dan tangan yang diayunkan, Imam Samudra sebenarnya tak mengagetkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tak gentar. Ia juga tak menyesal. Pengadilan membuktikan ia bersalah telah merancang pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Bali pada Oktober 2002 itu, ketika bom meledak di sebuah kafe yang padat di Kuta. Hakim memutuskan: ia dihukum mati. Tapi hukuman itu akan dijalaninya—begitulah ia percaya—sebagai kesempatan untuk menjadi syuhada. Ia yakin bahwa Taman Firdaus menantinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo