Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Suara Kesakitan

Lalu Batu adalah kumpulan puisi yang "meledek" sosok kesakitan yang merongrong tubuh besar kita: tubuh peradaban, tubuh zaman yang riuh-rendah ini.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengarang : Radhar Panca Dahana Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , Februari 2003. xii + 145 halaman

Nafas
perjalanan pendek ini panjang sekali.

Saya bersyukur pernah "menikmati" suatu jenis penyakit yang membawa saya ke dalam kondisi ketika setiap tarikan napas terasa sebagai perjuangan berat dan melelahkan. Dalam kondisi sakitnya sekarang ini, Radhar tentulah memiliki pengalaman yang jauh lebih dahsyat, yang membuat sajak ringkas di atas terasa bukan sebagai permainan logika semata.

"Nafas" adalah satu di antara beberapa sajak ringkas (hanya terdiri atas dua baris pendek) gubahan tahun 2002 yang hadir di bagian akhir Lalu Batu. "Nafas" sendiri muncul persis sebelum sajak terakhir, "Cahaya". Menilik isi sajak "Cahaya" yang antara lain menyebut biar maut mengendap dan dekap nyawaku bekap, "Nafas" dan sajak ringkas lainnya seakan merupakan letupan puncak-puncak kenyerian dan kesepian seseorang sebelum ia bersikap pasrah. Dengarlah ini: waktu yang berdiam: / silet di tiap mili urat darahku. ("Di Tubuh Subuh"); siapa pun / tak di situ. ("Sakit"); ramai di kepala / sunyi di sisanya. ("Suara"); kupejam rapat terlihat / kulihat lamat ia lewat. ("Pandang").

Meskipun ada beberapa sajak yang mungkin bisa menggoda kita untuk mengait-ngaitkannya dengan kisah derita Radhar, antologi ini jauh dari kecenderungan untuk menjadi semacam biografi kesakitan penyairnya. Radhar justru mengajak kita "meledek" sosok kesakitan yang merongrong tubuh besar kita: tubuh peradaban, tubuh zaman yang riuh-rendah ini.

Seraya mempertanyakan untuk apa puisi masih harus diterbitkan, dalam pengantarnya Radhar dengan gamblang merumuskan situasi sakit tersebut sebagai "dunia" yang "sudah demikian cerewetnya, dan kata-kata telah menjadi laut yang justru kering akan makna"; "kenyataan yang telah kian hiper-pragmatis, serba oportunistik, materialistis, dan berpikiran pendek", yang "sungguh telah menyudutkan ruang-ruang di mana kita dapat berkontemplasi atau meraih tingkat-tingkat meditasi"; hingga "puisi pun semakin menjadi prosa, menjadi kulit dari buah makna".

Kira-kira situasi semacam itu pula yang terungkap dalam sajak "Epistema Negeri Asap 2": panas dan pedas asap itu bukan pula / melulu menyerang kepala, batin, hutan / atau kota yang menyala, namun juga kering / yang menghisap segenap air di setiap kata / yang kita tulis dan katakan.

Dapat dipahami, untuk apa Radhar menyelipkan esainya, "Mencari Jiwa Bahasa", di tengah-tengah antologi puisinya, menyatu dengan sajak-sajaknya—mungkin karena mempunyai kaitan tematis dengan puisi-puisi yang melingkupinya. Esai tersebut hendak menegaskan bahwa bahasa akan hidup jika ia mampu mengakomodasi perubahan zaman. Namun daya hidup bahasa juga sangat bergantung pada dinamika dan daya cipta manusia atau masyarakat pemakainya. Demikian pulalah "nasib" bahasa Melayu (baca: Indonesia).

Kemajalan bahasa, kemampatan daya cipta, dan kekacauan logika terlukiskan secara karikatural dan sarkastis dalam sajak "Manusia Pantat". Imaji pantat (yang dalam sajak-sajak romantis sering dipakai untuk melukiskan keindahan dan kegairahan) digunakan untuk melambangkan ketololan, ketumpulan nalar dan nurani manusia: hari ini adalah awal dari manusia / yang berani mengatakan: bibir / dan duburnya adalah lubang yang sama / untuk bicara dan menjelaskan dunia. … percayakah kau / jika sesungguhnya manusia tidak lagi berjalan / dengan kaki, kepala, atau hatinya? / tapi dengan... pantatnya!

***

Perjalanan pendek ini / panjang sekali. Ungkapan ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan situasi yang muncul dalam sajak-sajak Radhar sendiri. Menyusuri rimba puisi Radhar sering bukanlah perjalanan yang mudah, yang bisa ditempuh dengan kemanjaan. Usaha pendakian makna bisa menjadi terasa panjang, meskipun yang dihadapi adalah sajak yang relatif pendek, bahkan hanya sebuah judul puisi. Ini antara lain karena sajak Radhar sarat dengan pergulatan konsep dan pemikiran, utak-atik logika, dan refleksi "filsafat" yang tidak gampang ditaklukkan. Dalam kaitan ini, Lalu Batu benar-benar merupakan kelanjutan dari antologi puisi Radhar sebelumnya, Lalu Waktu (1994).

Dalam sajak dengan karakter seperti itu, memang tidak begitu mudah menemukan sosok obyek atau imaji-imaji yang spesifik. Tidak mengherankan jika kita sering berjumpa dengan ungkapan semacam ini: walau kemarin berlalu tanpa hari ini / tetap kuharap nanti datang ini kali … bahwa kita sekarang tidak ada dalam waktu, namun / dalam penjara yang kita inginkan / sekaligus tidak kita harapkan. / itulah hari ini. ("Sejarah: Hari Ini").

Yang menarik, di tengah rangkaian puisi yang bentuknya "bebas" dan banyak mengajak kita untuk "mikir" ini, sering kita jumpai pemanfaatan pola persajakan lama seperti rima pada akhir baris sebagaimana dalam pantun dan syair. Sekadar contoh: suatu kali akan pernah / kau bersumpah mengunyah sampah / saat dulu berserak lalu berlimpah / dalam botol hatimu pecah. / kini ia lahar ia tumpah / menggenang sepenjuru / mengambang tak tentu / hingga dusun tiada sawah / hingga harap tiada rindu. / dan kini senyap beradu tatap; / kurias lalu wajahku darah / saat dagu matamu tengadah / mulutmu anggur, racun dikunyah / membadai kata konon sejarah. ("Pernah Dustaku Pernah").

Tak selamanya perjalanan terasa "panjang". Ada saat-saat kita bisa menghirup udara segar, memasuki relung-relung hening dan lapang, yakni saat kita piknik ke sajak "Tokyo, yang Pertama", "Pelukis Tua Monmarte", "Sitor di Fransisque Rue", "Waktu Lenyap di Vesontio", dan semacamnya. Sajak-sajak itu terasa mengalir dalam kewajaran permainan bunyi, ritme, deskripsi peristiwa dan suasananya. Di situ nalar dan rasa bertemu dan melebur. Ada kalanya dalam sajak-sajak seperti itu kita dihadiahi imaji sensual, semisal perdu yang bersemak di bibirmu / berdiri rimbun, berduri di hijau kesumba / sempit basah senantiasa terbuka ("Bibir Seabadi Dzikir"). Imaji seseksi ini membuat pembaca seperti saya serasa menemukan "jiwa kata", "jiwa bahasa".

***

Banyak sajak yang mengajak kita merenung mengenai hakikat waktu dengan segala kenisbiannya. Lalu Batu lantas menjadi judul yang sarat makna. "Lalu" mengandung asosiasi tentang gerak waktu. "Batu": diam, beku, keras. Demikianlah, perubahan terus berlangsung, sementara manusia malah membeku dalam kemampatan dan kegersangan jiwa. "Batu" bisa juga bicara tentang pengendapan dan pemadatan makna.

Dapatkah, di tengah zaman yang riuh-rendah ini, di tengah artifisialisme bahasa yang makin menjadi-jadi, puisi menjadi "batu" yang mengkristalkan kedalaman makna? Toh, kita masih dapat melihat usaha penyair kita ini (meskipun tampak tidak mudah) untuk membuat puisi tidak—meminjam istilahnya sendiri—"semakin menjadi prosa". Toh, dalam sajak-sajaknya bisa kita dengar suara kesakitan kita.

Berbahagialah Radhar, yang "karena sakit ia mengalami metamorfosis dalam pandangan-pandangan religiusnya" (Kompas, 3 September 2003).

Joko Pinurbo (penyair, tinggal di Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus