Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemilihan Umum tak perlu menuruti desakan Partai Golkar agar menunda pemilihan kepala daerah serentak. Digelar pada 9 Desember mendatang, pilkada bersama merupakan amanat undang-undang untuk menghemat dan mengefisienkan pesta demokrasi di daerah.
Golkar menuntut penundaan dengan menggunakan audit Badan Pemeriksa Keuangan sebagai alasan. Dalam audit itu, Komisi disebut menyelewengkan anggaran Rp 334 miliar ketika menggelar pemilu tahun lalu. Bentuknya adalah perjalanan dinas fiktif, volume pekerjaan yang tak sesuai dengan kontrak, pembayaran ganda, serta kelebihan pembelian barang dan jasa. Golkar juga mempersoalkan lonjakan biaya pilkada serentak di 269 daerah itu: dari semula Rp 4 triliun menjadi Rp 7 triliun.
Lebih dari sekadar mencerminkan sikap kritis legislatif, desakan Golkar itu menyimpan udang di balik batu. Golkar ingin mengulur waktu agar tetap bisa berpartisipasi dalam hajatan demokrasi itu.
Dirundung konflik internal, Beringin terpecah ke dalam dua kubu: Golkar hasil Kongres Bali dipimpin Aburizal Bakrie dan Golkar hasil Kongres Ancol dipimpin Agung Laksono. Tak kunjung rujuk, Golkar terancam tak bisa mengajukan calon.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mula-mula menyatakan Golkar Agung Laksono yang sah. Tapi Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan Aburizal Bakrie yang mempersoalkan keputusan Yasonna. Pengadilan meminta Menteri Hukum mencabut keputusan pengesahan Golkar versi Munas Ancol seraya mengembalikan kepengurusan hasil Kongres Riau lima tahun sebelumnya. Dalam kongres itu, Aburizal terpilih sebagai ketua umum.
Agung Laksono naik banding. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara belum keluar, padahal pendaftaran calon akan ditutup pada akhir Juli ini. Islah terbatas yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak bisa mengatasi keadaan. Di tengah ketidakpastian itulah Golkar menekan KPU agar menunda pilkada.
Tindakan Golkar sungguh tidak terpuji. Menunda pilkada serentak punya implikasi teknis yang tak sederhana. KPU harus merevisi peraturan yang dibuatnya sendiri, terutama menyangkut urutan waktu penyelenggaraan pilkada. Pejabat sebelumnya yang seharusnya bisa langsung lengser, dengan penundaan itu, harus diganti oleh pejabat sementara. Sejumlah agenda pemerintah daerah akan terkatung-katung. Penundaan juga merugikan kandidat lain, selain melahirkan ketidakpastian bagi pemilih.
KPU harus jalan terus. Dugaan penyelewengan tentu harus diusut tapi pemilu kepala daerah tidak dihambat. Sikap pimpinan KPU yang membuka diri terhadap audit layak dipuji.
Pembelaan KPU harus pula didengar. Menurut Komisi, yang terjadi adalah maladministrasi biasa. Dugaan penyelewengan terjadi karena belum seluruh data KPU provinsi dan kota terkonsolidasi.
Dengan kata lain, yang mungkin terjadi adalah akal-akalan Partai Golkar. Partai lain di DPR harus mempersoalkan tindakan ini. Tekanan politik harus diberikan kepada Golkar.
Beringin selayaknya melakukan introspeksi. Menyadari pilkada sudah dekat, mereka seharusnya mencari jalan tengah untuk mengatasi dualisme kepemimpinan, bukan malah menekan KPU. Bersikap mentang-mentang dan mau menang sendiri sesungguhnya merugikan Partai Golkar: mereka akan semakin jauh dari simpati pemilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo