Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM mengkaji perkembangan yang sedang terjadi di Cina sekarang, muncul satu pertanyaan yang cukup mengganggu. Mungkinkah pergolakan itu berkembang menjadi Revolusi Kebudayaan Seri II? Pertanyaan tersebut sangat relevan, lantaran baik pelaku maupun skenario yang telah rampung sudah hadir di tempat syuting: ada elite yang berselisih, ada mahasiswa yang memprotes, dan ada tentara yang siap memukul. Bedanya dengan dulu hanyalah medannya, yang buat sementara kini terbatas di Lapangan Tiananmen, walaupun ada gejala limbahannya sudah mulai mengalir ke kota-kota besar lainnya. Pada 1966 dulu, Mao mencetuskan perlunya Revolusi Kebudayaan karena pada pendapatnya partai dan masyarakat Cina sudah kehilangan elan revolusi. Untuk itu ia memanggil kaum muda untuk bergabung ke dalam gerakan Pengawal Merah dan menggasak segala yang berbau kolot, dan mengganyang semua pemimpin partai yang telah menjadi birokrat dan sudah jauh dari rakyat yang seharusnya diwakili dan dibelanya. Kekacauan pun segera saja melanda Cina. Baru menjelang 1969 hukum dan ketertiban dapat dipulihkan. Itu pun hanya bisa dicapai berkat terjunnya Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) ke lapangan. Tapi kemudian Mao harus menelan pil pahit karena setelah itu ternyata TPR kelewat berkuasa, sehingga prinsip "partai mengatur bedil" sudah terlanggar. Keadaan menjelang awal 1971 sudah sangat tak membahagiakan Mao. Hampir 70% dari posisi-posisi dalam partai, pemerintahan, dan organisasi massa setelah selesainya Revolusi Kebudayaan tahap I (1966-1969) didominasi tentara. Untuk itulah pada 1971 Mao perlu mengambil jalan pintas: mematikan Marsekal Lin Biao -- calon penggantinya. Hanya dengan langkah itu barulah kekuasaan kembali lagi ke tangannya. Tapi, di balik suasana sekarang yang hampir mirip dengan Revolusi Kebudayaan ada beberapa faktor yang mungkin mencegah keadaan seperti Revolusi Kebudayaan dulu. Pertama, tak hadirnya seorang tokoh yang penuh karisma seperti Mao Zedong. Para ahli masalah politik Cina umumnya sepakat bahwa Revolusi Kebudayaan adalah khas Mao. Terbukti, meninggalnya Mao pada 1976 diikuti pula oleh kematian politik Revolusi Kebudayaan pada tahun yang sama. Kedua, konflik ini kurang berbau ideologi lantaran pertengkaran terjadi di dalam kubu reformis sendiri, khususnya antara para reformis-konservatif (Perdana Menteri Li Peng dkk.) dan reformis-radikal (Sekjen PKC Zhao Ziyang dan Hu Qili). Konflik terjadi karena mereka berselisih pendapat mengenai seberapa jauh dan seberapa cepat liberalisasi ekonomi di RRC bisa ditoleransi. Seperti sudah banyak diperbincangkan, Zhao dkk. menginginkan adanya liberalisasi ekonomi sejauh-jauhnya dan sedikit memberi kebebasan politik seperti yang dituntut para mahasiswa. Li Peng sebaliknya menginginkan agar ada suatu program liberalisasi yang terencana rapi, terkontrol, terpusat, dan tak memberi konsesi politik. Sama seperti Deng Xiaoping, yang mungkin berada di belakangnya, Li Peng boleh saja berpandangan liberal di bidang ekonomi, namun ia seorang konservatif di bidang politik. Latar belakang pendidikannya yang berbau Soviet mungkin membekas dalam pada dirinya. Ketiga, pengalaman yang sama para pencetus dan pendukung reformasi itu dalam Revolusi Kebudayaan. Baik Deng Xiaoping maupun Zhao Ziyang dkk. adalah korban Revolusi Kebudayaan. Selama bertahun-tahun, antara 1966 dan 1976, mereka telah menderita di bawah suatu sistem politik yang menyebabkan khaos. Kebersamaan pengalaman itulah yang akan membuat para pemimpin Cina berpikir dua kali sebelum membiarkan gerakan mahasiswa menyebar ke bagian-bagian lain Kota Beijing, atau malah ke wilayah Cina lainnya. Keempat, sifat gerakan mahasiswa itu sendiri yang boleh dikatakan mandiri. Memang ada gejala bahwa Zhao Ziyang mendukung gerakan mereka, atau paling tidak bersikap persuasif terhadap mereka. Bahkan perselisihan antara dia dan Li Peng justru karena sikapnya terhadap mahasiswa yang dianggap oleh pihak sana sebagai "lunak". Tapi, tak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa mahasiswa disetir oleh para reformis-radikal. Pada mulanya gerakan mahasiswa itu tak terorganisasi dan hanya merupakan cetusan spontan ketika Hu Yaobang meninggal. Hanya menjelang tanggal 4 Mei, sehubungan dengan peringatan 70 tahun Gerakan 4 Mei 1919 (Wu Si Yundong), ada usaha mengorganisasikan gerakan itu menjadi semacam kesatuan aksi. Dengan demikian, berbeda dengan gerakan Pengawal Merah yang dicetuskan dari atas, aksi mahasiswa sekarang timbul dari bawah. Pada masa Revolusi Kebudayaan, gerakan Pengawal Merah timbul sebagai puncak pertentangan antar-elite. Hal yang sama terjadi pada Gerakan Dinding Demokrasi pada 1978. Sekarang keadaannya adalah kebalikan dari itu. Pertentangan antar-elite mencapai klimaks karena adanya gerakan mahasiswa. Ada kecenderungan TPR tampaknya ragu bertindak. Di tingkat komando pusat bisa saja para pemimpin militer mengeluarkan pernyataan mendukung Li. Tapi yang juga penting adalah bagaimana dukungan itu diterjemahkan di lapangan. Menarik untuk diikuti apa tindak lanjut Li. Ia bisa saja melakukan aksi pembersihan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Ia pun bisa saja menyusun daftar nama pemimpin mahasiswa yang dianggap otak gerakan untuk kemudian digusur. Tapi apa yang digugat mahasiswa (soal korupsi misalnya) adalah kenyataan telanjang yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Ia harus berbuat sesuatu agar paling tidak bisa menunjukkan pemerintah cukup tanggap atas protes mahasiswa. Sikap "anjing menggonggong kafilah berlalu" tak bisa dianut. Sementara itu, di kejauhan sudah menunggu golongan Maois, yang pada 1976 tersingkir dan sekarang sedang mencari-cari peluang. Li menang. tapi dalam pada itu ia sedang berada di ujung tanduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo