Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMUAN Komisi Pemberantasan Korupsi ihwal pungutan liar dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri tingkat dasar hingga menengah sudah bisa diperkirakan sejak pemerintah memberlakukan sistem zonasi pada 2018. Sistem ini rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta mengabadikan favoritisme yang hendak dihilangkan melalui sistem ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB mewajibkan sekolah menerima 90 persen siswa di lingkungan terdekat, 5 persen untuk siswa berprestasi, dan 5 persen untuk siswa yang pindah mengikuti domisili orang tua atau karena bencana alam. Tujuannya bagus: mengurangi sekolah favorit, kemacetan, biaya transportasi, dan risiko kecelakaan serta mencegah anak putus sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktiknya, kuota itu menjadi celah korupsi guru dan orang tua. Para orang tua mengakali alamat domisili agar anaknya bisa bersekolah di sekolah favorit. Para guru menerima titipan murid anak pejabat daerah hingga pemerintahan pusat dengan suap. KPK menemukan 21,31 persen sekolah melakukan pungli dan 38,77 persen menerima titipan anak pejabat.
Hasil survei KPK pada akhir 2023 kepada 69.191 responden itu sama dengan temuan Ombudsman dalam penelitian pada tahun sebelumnya. Ombudsman bahkan menemukan suap di sekolah dasar hingga menengah untuk murid titipan mencapai Rp 35 juta per siswa. Sementara itu, pungutan liar untuk atribut seragam dan uang pembangunan sebesar Rp 1-5 juta.
Atas temuan-temuan itu, KPK menerbitkan surat edaran pada 3 Juni 2024 agar sekolah menyetop pungutan liar dan berhenti mengakali sistem zonasi untuk meraup suap. Surat edaran itu penting, tapi tak menyentuh akar masalah sistem pendidikan kita. Sekolah bisa mengabaikan surat itu karena penindakan terhadap para pelanggarnya juga longgar.
Pokok masalah korupsi di sekolah adalah persepsi masyarakat terhadap sekolah negeri. Sebab, sistem zonasi sebetulnya bisa menjawab ketimpangan penyediaan pendidikan. Tapi justru di situ masalahnya. Sistem zonasi membutuhkan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Tanpa kualitas pendidikan yang merata, sistem zonasi malah mengabadikan favoritisme sekolah tertentu, seperti yang terjadi sekarang.
Akar masalah korupsi di sekolah negeri adalah anggapan keliru di masyarakat bahwa sekolah umum negeri punya kualitas bagus. Padahal, selain sekolah umum negeri, pemerintah menyediakan madrasah yang tak menerapkan sistem zonasi. Akibat sosialisasi pemerintah yang kurang, madrasah terabaikan sebagai alternatif pendidikan yang sama kualitasnya.
Persepsi lain yang memicu favoritisme sekolah negeri adalah anggapan bahwa biaya sekolah swasta lebih mahal karena tak mendapat subsidi. Untuk persepsi ini, pemerintah bisa mengubah skema Kartu Indonesia Pintar dengan mentransfer biaya operasional sekolah ke sekolah-sekolah swasta agar mereka bisa menerima siswa dari keluarga miskin di sekitarnya.
Dengan cara itu, akan terjadi pemerataan kualitas dan akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Favoritisme sekolah negeri akan berkurang karena masyarakat punya banyak alternatif sekolah di sekitar tempat tinggal mereka. Strategi itu sekaligus memasukkan sekolah swasta sebagai bagian integral kebijakan pendidikan. Pemerintah juga tak perlu memaksakan membangun sekolah negeri hingga pelosok.
Baca liputannya:
Selama ini, sekolah swasta dan sekolah negeri dibiarkan bersaing dalam menyediakan kualitas ataupun biaya murah. Akibatnya, secara tak sadar, pemerintah menciptakan segregasi sosial. Orang kaya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah swasta. Sedangkan kelas menengah bersaing menembus sekolah negeri favorit dengan suap dan korupsi. Korbannya adalah anak-anak keluarga miskin yang tak bisa bersaing masuk ke keduanya.
Sudah saatnya pemerintah memikirkan pemerataan pendidikan dengan berangkat dari pemikiran bahwa sekolah harus terjangkau oleh semua kalangan. Memberikan kuota dan cuma menyediakan subsidi kepada sekolah negeri hanya menciptakan celah korupsi dan komersialisasi pendidikan.