Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Manajemen Bobrok ala Transjakarta

Percuma saja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama marah-marah tiada ujung melihat pemogokan sopir bus Transjakarta. Ibarat penyakit, heboh-ripuh sopir itu seperti demam dan bukan persoalan utama. Persoalan pokoknya adalah bobroknya pengelolaan bus Transjakarta secara keseluruhan.

6 Juni 2015 | 01.03 WIB

Manajemen Bobrok ala Transjakarta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Percuma saja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama marah-marah tiada ujung melihat pemogokan sopir bus Transjakarta. Ibarat penyakit, heboh-ripuh sopir itu seperti demam dan bukan persoalan utama. Persoalan pokoknya adalah bobroknya pengelolaan bus Transjakarta secara keseluruhan.

Masalah busway jauh lebih kompleks ketimbang sekadar pemogokan sopir bus Transjakarta koridor 5 dan 7, awal pekan ini. Penyakitnya sudah akut, mulai dari armada yang tidak layak, halte tak terawat, keamanan dan kenyamanan yang buruk, jadwal molor, sampai jalur bus yang tak steril dari pengguna kendaraan lain. Cita-cita meniru TransMilenio di Bogota tinggal mimpi. Tak ada keberangkatan bus Transjakarta tiap lima menit seperti yang dijanjikan Gubernur Jakarta dulu, Sutiyoso. Target 800 ribu penumpang terangkut--dua kali lipat dari kapasitas sekarang--terancam tak terpenuhi jika layanan tidak diperbaiki.

Sudah 11 tahun Transjakarta berjalan, tapi operasinya masih buruk. Sistem yang dimulai 11 tahun silam itu semula memberi harapan di tengah buruknya layanan transportasi di Ibu Kota. Selama ini masyarakat memilih kendaraan pribadi karena ketidaknyamanan angkutan umum. Pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta pun melesat hingga 6.000 unit per hari dengan 75 persennya adalah sepeda motor. Akibatnya, kemacetan terus menggila.

Basuki tak bisa lepas tanggung jawab atas buruknya pengelolaan dan kemudian menyalahkan operator bus. Layanan publik, termasuk Transjakarta, adalah tanggung jawab Gubernur Basuki. Pasang tampang marah dan mengomel di depan wartawan jelas tak akan menyelesaikan persoalan. Yang harus Basuki lakukan adalah turun tangan membenahi pengelolaan Transjakarta. Layanan publik yang dikelola swasta itu hal lumrah karena dana pemerintah memang cekak. Namun, di banyak negara, meski transportasi publik dikelola swasta, tetap dihasilkan layanan yang bagus seperti di Singapura. Syaratnya, pemerintah melakukan supervisi ketat sehingga pengelolaannya tak serampangan. Sayangnya, selama ini pemerintah Jakarta abai mengawasi para operator bus. Birokratnya sudah "berkarat" sehingga tak sigap mengelola dan mengawasi Transjakarta.

Insiden itu seharusnya bisa dihindari bila pemerintah DKI serius membenahi busway. Betul, dalam klausul lama, gaji pegawai Transjakarta tidak harus 2,5 kali upah minimum provinsi seperti dalam ketentuan baru. Tapi pemerintah seharusnya meminta para operator bus segera merevisinya. Bila bandel, kontraknya tak perlu diperpanjang.

Mengontrol standar mutu produk atau layanan, itulah yang dilakukan perusahaan multinasional seperti Nike ataupun Adidas saat menyerahkan pekerjaan ke pabrik di Indonesia. Mereka mengontrol kualitas, gaji pegawai, bahkan termasuk hak libur bagi buruh wanita yang haid. Basuki seharusnya mafhum untuk melakukan hal serupa.

Basuki semestinya malu kepada PT Kereta Api, yang berhasil menyulap kereta rel listrik Jabodetabek yang bobrok menjadi Commuter Line yang nyaman dan manusiawi. Marah dan berdebat dengan anggota DPRD saja tak akan menyelesaikan persoalan. Basuki mesti turun menyingsingkan lengan.(*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus