Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali perkara Basuki Tjahaja Purnama patut disesalkan. Majelis hakim peninjauan kembali semestinya bisa meluruskan peradilan sesat terhadap bekas Gubernur DKI Jakarta itu. Mahkamah hanya melihat proses hukum luar biasa ini dari kacamata Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim tidak membuka mata terhadap kenyataan bahwa sejak awal perkara Basuki dipaksakan karena tekanan publik. Basuki dijadikan tersangka oleh polisi setelah ada gelombang demonstrasi yang menuntut dia dipenjara. Basuki dianggap menistakan agama saat berpidato di Kepulauan Seribu pada September 2016 dengan menyitir Surat Al-Maidah ayat 51.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Mei 2017 memvonis Basuki 2 tahun penjara karena menganggapnya menodai agama. Padahal, dalam persidangan, Basuki tak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan jaksa. Tersebab itu, jaksa hanya menuntut Basuki dengan tuduhan telah menyebarkan permusuhan. Hakim malah mengacu pada surat dakwaan yang dibacakan di awal sidang.
Di sini, hukum yang seharusnya menjadi panglima tunduk kepada desakan orang ramai. Di tengah pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang diikuti Basuki saat itu, sulit untuk tak mengaitkan desakan atas proses hukum perkara ini dengan intrik politik. Basuki mungkin melanggar etik, tapi dia tak berniat menodai agama seperti yang diyakini majelis hakim.
Unsur "dengan sengaja" yang menjadi syarat adanya niat jahat dalam penodaan agama tak terbukti di pengadilan. Hakim tak mempertimbangkan keterangan saksi yang diajukan Basuki, yang menunjukkan maksud pidato di Kepulauan Seribu. Hakim malah menggunakan kalimat penggalan dan tanpa konteks dari pidato Basuki sebagai bahan pertimbangan.
Karena itu, wajar ketika Buni Yani-orang yang memotong kalimat Basuki-dinyatakan bersalah oleh hakim dalam pengadilan berbeda, Basuki mengajukan peninjauan kembali. Putusan Buni Yani semestinya menjadi pertimbangan MA bahwa ada dua perkara yang bertolak belakang.
Sayangnya, kuasa hukum Basuki tak serius memanfaatkan peluang ini. Misalnya, mereka tak berusaha dengan keras menghadirkan Basuki dalam sidang pemeriksaan berkas peninjauan perkara. Padahal, Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2012 mewajibkan terpidana hadir. Mahkamah dengan tegas menyebutkan peninjauan kembali dinyatakan tak dapat diterima bila terpidana absen.
Maka, majelis peninjauan kembali yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar menyatakan permohonan Basuki tak dapat diterima. Artinya, hakim tak memeriksa substansi perkara, melainkan syarat formalnya-salah satunya kehadiran terpidana di persidangan. Kuasa hukum Basuki harus memperbaiki kekeliruannya dan kembali mengajukan peninjauan kembali.
Mahkamah Konstitusi menyatakan peninjauan kembali boleh diajukan berulang kali. Meski kemudian membatasinya hanya sekali dengan mengeluarkan SEMA, MA tetap membuka peluang atas dua perkara yang bertolak belakang, seperti perkara Basuki dan Buni Yani.