Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kenaikan 100 persen iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk kelas satu dan dua per 1 Januari tahun depan merupakan kebijakan tepat yang seharusnya dilakukan pemerintah sejak dulu. Namun menaikkan iuran saja tak bakal menyelesaikan semua persoalan. Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk membenahi kondisi internal BPJS Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kebijakan menaikkan iuran perlu didukung karena, tanpa kenaikan iuran, kas BPJS akan selamanya tekor. Sudah lama dikeluhkan bagaimana besaran iuran peserta BPJS tak sebanding dengan perhitungan aktuaria biaya perawatan kesehatan. Adapun besaran kenaikan iuran di kelas satu dan dua seharusnya tak terlalu memberatkan warga kelas menengah. Apalagi iuran untuk kelas ekonomi alias kelas tiga juga tidak naik, yakni tetap Rp 25.500 per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meski agak terlambat, kebijakan ini merupakan langkah realistis untuk memperbaiki BPJS secara gradual. Karena itu, kenaikan iuran ini harus dibarengi dengan pembenahan di lingkup internal BPJS. Misalnya keluhan soal banyaknya warga miskin yang sampai sekarang tidak terdaftar di BPJS Kesehatan. Ini perlu segera dibenahi. Artinya, sistem seleksi peserta BPJS harus diperbaiki agar tak muncul lagi keluhan serupa di masa mendatang.
Tak adanya seleksi peserta yang baik memang mengundang masalah. Banyak peserta yang baru mau mendaftar ke BPJS ketika mereka sendiri jatuh sakit. Peserta semacam itu langsung menikmati berbagai fasilitas BPJS pada hari pertama mereka terdaftar sebagai anggota. Hal seperti ini mustahil terjadi di perusahaan asuransi biasa.
Akibat pola kerja semacam itu, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit keuangan. Setahun setelah program ini berjalan pada awal 2014, BPJS sudah tekor sebesar Rp 3,3 triliun. Hingga Agustus lalu, angka defisit lembaga ini telah mencapai Rp 14 triliun. Jumlahnya diperkirakan meningkat hingga Rp 32,84 triliun pada akhir tahun ini.
Selain soal seleksi peserta, pemerintah lewat Kementerian Kesehatan perlu mengatur ulang jenis penyakit yang memperoleh jaminan. Pengobatan penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat, seperti kanker paru yang diderita pasien perokok, semestinya tak perlu dijamin. Di banyak negara, jaminan sosial hanya mencakup pelayanan perawatan kesehatan dasar.
Ke depan, pemerintah harus menjadikan pembenahan sistem dan manajemen di BPJS Kesehatan sebagai prioritas. Program jaminan kesehatan universal ini mesti dijalankan dengan prinsip yang benar sesuai dengan kaidah asuransi modern. Dalam skema asuransi, selain berhak mendapat jaminan pembiayaan, warga berkewajiban membayar premi yang nilainya masuk akal.
Kesehatan seluruh warga masyarakat, terutama kalangan yang tidak mampu, memang harus dijamin oleh negara. Namun, dengan besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terbatas, pemerintah tentu tidak mampu membayar seluruh biaya pengobatan. Kenaikan iuran BPJS tersebut seharusnya menjadi momentum untuk mulai mengelola lembaga ini laiknya asuransi profesional.