Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah undang-undang yang langsung saja disambut dengan sukacita. Selasa pekan lalu DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan, yang segera disambut dengan gegap-gempita oleh serombong-an perempuan bersuami warga negara asing yang berbondong datang ke DPR. Undang-undang ini mengganti undang-undang lama yang umurnya hampir 50 tahun.
Undang-undang kewarganegaraan kita yang lama memang sangat tidak adil. Selain tidak memberi perlindung-an kepada perempuan dan anak-anak, Undang-Undang No. 62/1958 itu tidak menghormati hak asasi dan persama-an antarwarga negara. Undang-undang lama itu, misalnya, melakukan diskriminasi terhadap warga keturunan de-ngan mewajibkan mereka memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Di lapangan, ketentuan perlunya SBKRI ini menjadi lahan pemerasan. Para warga negara keturunan Cina, Arab, atau India, mi-salnya, juga kerap dipersulit mengurus paspor atau kartu tanda penduduk hanya karena soal SBKRI ini.
Para perempuan Indonesia yang menikah dengan warga negara asing juga turun derajatnya menjadi warga negara ”kelas dua”. Karena menganut prinsip ius sanguinis, undang-undang lama menyatakan kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan sang ayah (jika ayahnya orang asing), sekalipun anak itu lahir, tumbuh, dan tinggal di Indonesia.
Sepanjang perkawinan tersebut adem ayem, status anak memang belum menimbulkan masalah. Namun, begitu pernikahan itu retak dan berakhir, muncullah kisah tragis yang kerap kita dengar: perjuangan sang ibu menginginkan anaknya yang berada di genggaman mantan suami nun jauh di sana. Dan kita tahu, perjuangan itu lebih banyak berujung pada kesia-siaan. Anak terpisah dari ibu hanya karena peraturan keras yang kemudian sering dimanfaatkan oleh pihak mantan suami.
Kini, undang-undang baru yang terdiri dari 47 pasal itu menghilangkan diskriminasi itu. Warga negara keturunan Cina, India, atau siapa pun yang dianggap ”asing” tak perlu lagi mengantongi SBKRI yang menempatkan mereka bagai bukan warga negara Indonesia. Setiap anak yang lahir dari perkawinan yang sah atau tidak sah antara perempuan Indonesia dan pria warga negara asing juga secara otomatis menjadi warga negara Indonesia. Status ini melekat hingga ia berumur 18 tahun. Sang ibu juga tak lagi kehilangan status warga negara Indonesia sepanjang negara asal suami tidak menentukan kewarganegaraan istri harus ikut suami.
Undang-undang ini juga menghapus kriteria asli tidak asli seorang warga negara, yang selama ini kerap dipoliti-sasi. Masalah keaslian warga negara tak lagi bersumber pada etnis, tapi berdasar hukum. Menurut penjelasan Pasal 2 undang-undang ini, bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Undang-undang ini memang salah satu produk DPR yang fenomenal. Kita berharap undang-undang ini tak sekadar di atas kertas atau manis diucapkan. Kita semua, terutama para birokrat dan aparat hukum, bertanggung jawab atas pelaksanaannya di lapangan agar jangan terjadi pemerasan atau pungutan liar. Peraturan pemerintah yang mengawal pelaksanaan undang-undang ini perlu segera dikeluarkan agar undang-undang ini bisa terlaksana dengan lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo