Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Populisme

31 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah warung sop tengklèng di kawasan Manahan, Solo, saya ngobrol dengan Daru tak lama setelah kenduri mantu Presiden pada November lalu. "Populis!" komentarnya singkat tentang hajatan itu. Lho, populis bagaimana? Bukankah "populis" itu istilah politik? Belakangan, populis atau populisme menjadi sorotan publik lantaran dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan demokrasi. Istilah populis atau populisme, dalam wacana itu, mencakup golongan orang, pikiran, gerakan, dan paham populer yang berwatak intoleran. Itu sebabnya, bagi penjunjung demokrasi, populisme dinilai berbahaya bagi keberagaman dan patut diwaspadai.

Lalu kenapa mantènan itu dibilang "populis"? Ternyata, kawan lama saya itu hanya ingin mengatakan perhelatan Presiden tersebut bersifat "merakyat". Maksudnya, walau digelar oleh pemimpin tertinggi negeri ini, selamatan pengantin itu juga melibatkan wong cilik. Ada tukang becak yang bertugas menjemput tamu dari parkiran mobil ke gedung resepsi, ada kusir dokar, tukang mebel, dan perajin suvenir yang kebanjiran order, dan sebagainya. Kabarnya, baju pengantin pun dibuat oleh "penjahit kampung" setempat, bukan busana branded yang mahal. Jadi kata populis itu (lebih pas populistis jika dimaksudkan sebagai adjektiva) juga menyiratkan makna "sederhana". Senyampang dalam artian ini, populis atau populisme tak perlu dikhawatirkan apa-apa.

Namun, sejak awal, kata-kata yang mendasari populisme memang berbingkai politis. Kata popularis (Latin), yang berarti "milik rakyat", misalnya, digunakan sebagai istilah politik dan hukum sejak zaman Yunani Kuno sekian abad yang lalu. Kemudian pada masa akhir Republik Romawi, kata populares dipakai untuk mendefinisikan strategi politik para pemimpin aristokratis yang merangkul rakyat demi membebaskan diri dari cekikan kaum nobile. Pada abad ke-16, muncul istilah popular estate dan popular government sebagai label sistem politik pemerintahan yang diniatkan berorientasi kerakyatan; selain bermakna low ’rendah’ atau base ’dasar’.

Istilah populisme mencuat jelas pada abad ke-19 bertautan dengan gerakan sosial. Di Rusia, populisme diistilahkan narodnik alias "masyarakat awam", merupakan gerakan bawah tanah yang dimotori mahasiswa pada 1870-an yang berambisi menyulap penduduk perdesaan menjadi masyarakat sosialis. Pembentukan People’s Party (1891) di Amerika Serikat menandai gerakan kaum buruh radikal serta petani kapas dan gandum di daerah prairi yang subur vis-á-vis pemodal raksasa negeri itu. Di negara-negara Afrika, populisme identik dengan perlawanan petani terhadap kolonialisme dan penetrasi kapitalis sekaligus idiom kepolitikan "nasionalis" di Benua Hitam itu (lihat risalah Paul Richards dalam Peasants and Peasant Societies, editor Teodor Shanin, 1987).

Ringkas kata, populisme adalah retorika politik yang mendaku mendukung rakyat dalam menghadapi elite ekonomi dan politik yang dinilai korup. Yang ditekankan dalam pengertian itu ialah keyakinan bahwa naluri dan kehendak rakyat menjadi panduan prinsipiil yang sah atas suatu rencana atau tindakan politik. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary (2015) mempertajam definisi populism dengan menekankan "disapproving political ideas and activities" yang merepresentasikan kebutuhan dan harapan orang kebanyakan. Kamus itu menyodorkan contoh sederhana tuntutan kaum populis tipikal masyarakat industri, yakni "tax cuts and higher wages".

Ideologi populisme tidak terbatas pada aliran politik kiri ataupun kanan-bisa saja bersifat kiri atau kanan, atau tidak keduanya. Kepemimpinannya pun bervariasi dari kelas menengah, pentolan partai, tentara, tokoh tradisional karismatis, atau kolaborasinya. Dalam banyak hal, gerakan kaum populis bahkan menampik perantaraan institusi politik karena ingin menggedor langsung pusat kekuasaan atau "menembus jalan masuk" ke jantung rezim.

Adonan berbagai elemen dan faktor tersebut membuat populisme terbagi dalam aneka corak. Pertama, populisme orang kecil, yang terdiri atas kaum buruh, petani, pengusaha kecil, dan semacamnya, yang menentang kemodernan ala kapitalisme monopolistik; cenderung menolak politikus dan intelektual. Kedua, populisme otoriter, yang mengabaikan elite politik dominan untuk menarik simpati rakyat; dimotori pemimpin model fasistis atau ultrakanan semisal Hitler di Jerman dan De Gaulle di Prancis. Ketiga, populisme revolusioner, berupa aksi idealisasi rakyat dan tradisi-tradisi kolektifnya yang digerakkan kaum intelektual anti-elitisme dan penentang modernisasi (diolah oleh M. Canovan, Populism, 1981).

Arti umum kata dasar Latin populi, yakni "rakyat", sebenarnya "baik-baik" saja. Bahkan proverbia vox populi bermakna menjunjung sifat kerakyatan karena rakyatlah unsur paling hakiki dalam pertalian kehidupan sosial dan kenegaraan. Namun, ironis, populis jadi problematis ketika dieksploitasi dalam bingkai politis-ideologis. Maka betapa berharga, sejatinya, rakyat itu. l

Kasijanto Sastrodinomo
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus