Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Destry Damayanti *
"Economies are chronically unstable and that full employment is only possible with a boost from government policy and public investment."
John M. Keynes dalam General Theory 1883-1946
PERNYATAAN Keynes di atas jelas sekali menekankan pentingnya pemerintah dalam mengatur stabilitas di suatu negara. Teori ini lebih menekankan, dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mendorong atau menekan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kondisi yang diinginkan.
Saat resesi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dapat digunakan instrumen fiskal yang dimiliki pemerintah, yaitu pengeluaran pemerintah (G) atau pajak (T). Teknisnya melalui intervensi dengan menaikkan G atau menurunkan T, bisa berbentuk penurunan tarif pajak atau insentif pajak, sehingga perekonomian dapat bergerak kembali menuju keseimbangan yang diharapkan. Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi overheating, pemerintah dapat menggunakan instrumen fiskal melalui penurunan G atau peningkatan T sehingga pertumbuhan ekonomi dapat ditahan sehingga tidak terjadi economic burst.
Indonesia juga menganut aliran Keynesian, yang ditandai oleh instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang bertujuan menjaga stabilitas ekonomi secara makro. Namun memang selama ini peran APBN dalam ekonomi Indonesia masih relatif kecil, yaitu hanya berkisar 15-18 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan, dalam komponen PDB, peran G yang memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 6-8 persen. Kontribusi yang kecil itu menandakan fungsi pemerintah seperti yang dicita-citakan Keynes sulit diwujudkan dalam perekonomian Indonesia.
Alih-alih memberikan sumbangan positif terhadap perekonomian, justru G dalam PDB kuartal II 2014 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0,71 persen dibandingkan dengan G pada periode yang sama tahun lalu. Bahkan, pada kuartal I 2014, G hanya tumbuh 3,6 persen di saat komponen domestik lain tumbuh 5 persen. Walhasil, menjadi tantangan bagi pemerintah baru untuk mengoptimalkan pemanfaatan APBN sehingga kontribusinya terhadap perekonomian dapat maksimum.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa APBN sudah mengalami penyakit kronis sejak 2013, yaitu dengan terjadinya defisit di keseimbangan primer. Artinya, untuk membiayai kegiatan intinya di luar pembayaran bunga utang, pemerintah sudah mengalami defisit. Jumlah pada 2013 mencapai Rp 99 triliun dan pada 2014 diperkirakan meningkat menjadi Rp 106 triliun. Selanjutnya, jika dilihat dari pengeluaran pemerintah yang telah earmarked ketika pemakaiannya sudah tidak bisa digeser lagi, jumlahnya sudah mencapai 74 persen, di antaranya untuk pengeluaran gaji pegawai 14 persen, subsidi 21 persen, pembayaran bunga utang 7 persen, dan alokasi ke daerah 32 persen. Maka ruang gerak pemerintah untuk mengalokasikan dananya ke pengeluaran lain yang lebih produktif menjadi sangat terbatas, yaitu hanya mencapai 26 persen.
Ruang fiskal yang makin sempit
Harapan besar akan adanya perbaikan pada APBN 2015 tampaknya harus dipendam sementara. Sebab, Rancangan APBN 2015 yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 15 Agustus lalu, ternyata justru menghasilkan gambaran yang cukup kontroversial. Bagaimana tidak, versi anggaran baseline, menurut pemerintah Yudhoyono, ternyata sudah memperkirakan defisit anggaran hingga mencapai 2,3 persen dari PDB-hanya sedikit di bawah APBN 2014 yang diperkirakan 2,4 persen. Artinya, dengan asumsi defisit seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang mencapai 0,5 persen, ruang gerak bagi presiden baru nanti hanya tinggal 0,2 persen dari PDB atau sekitar Rp 23 triliun untuk menjaga defisit tetap berada di bawah atau sama dengan 3 persen dari PDB sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Padahal, yang ideal, RAPBN 2015 semestinya dapat memberi ruang gerak yang cukup leluasa bagi pemerintah baru untuk melakukan penyesuaian dengan rencana kerja yang disiapkan.
Bahkan pengeluaran subsidi energi, yang selalu menjadi "penyakit" dalam keuangan negara, masih dialokasikan hingga Rp 364 triliun-26 persen dari pengeluaran pemerintah pusat. Ini mengindikasikan pemerintah Yudhoyono sama sekali tidak mempertimbangkan reformasi struktural yang perlu dilakukan di sektor energi. Petunjuk lain: anggaran pembangunan infrastruktur justru mengalami pengurangan menjadi Rp 169 triliun dari Rp 207 triliun, di saat semua pihak merasakan bahwa lambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi kita. Business as usual, tampaknya inilah yang tergambar di RAPBN 2015. Padahal konstelasi permasalahan yang akan dihadapi Indonesia ke depan akan semakin kompleks dan berat.
Keniscayaan 'reformasi anggaran'
Sulit berharap pemerintah baru bisa segera merealisasi program-program besarnya, seperti perbaikan konektivitas di wilayah Indonesia melalui pembangunan infrastruktur jalan baru hingga 2.000 kilometer, pembangunan pelabuhan-bandar udara baru dan perluasan yang sudah ada, pengembangan konsep negara maritim, pemberdayaan sektor pertanian, pembangunan sektor perumahan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program khusus, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Dengan ruang fiskal yang tersedia yang hanya tinggal 0,2 persen dari PDB atau sekitar Rp 23 triliun, sangat tidak mungkin program-program tersebut dapat tercapai. Keberanian Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk melakukan reformasi RAPBN 2015 menjadi sangat penting dan dinanti semua pihak.
Reformasi RAPBN tentu juga berimplikasi pada dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang kurang populis tapi berdampak positif bagi perekonomian. Misalnya pengurangan subsidi energi, seperti melalui penyesuaian harga bahan bakar minyak bersubsidi, mempercepat pengembangan alternatif energi, serta memberlakukan subsidi tetap dan langsung ke target, yaitu orang miskin, baik untuk BBM maupun listrik. Dengan pendekatan ini, paling tidak pemerintah dapat menghemat sekitar Rp 200 triliun dan dana tersebut dapat dialokasikan untuk kegiatan yang lebih produktif, misalnya meningkatkan produktivitas sektor pertanian atau mengembangkan infrastruktur untuk memperbaiki konektivitas di Indonesia. Sebagai perbandingan, pembangunan jalan tol atas laut di Bali menelan biaya Rp 2,4 triliun dan proyek jalur kereta api ganda Jakarta-Surabaya hanya menghabiskan Rp 9,3 triliun. Bisa kita bayangkan berapa banyak jalan dan sarana transportasi yang bisa dibangun dengan penghematan tersebut.
Dalam pemaparan visi, Jokowi juga menargetkan pertanian akan menjadi sektor yang bakal mendapat perhatian utama karena merupakan sektor strategis bagi Indonesia, yang menyerap 38 persen dari total tenaga kerja, tapi hanya menyumbangkan 12 persen dari PDB. Peningkatan kinerja dan produktivitas sektor pertanian yang maksimal tentu dapat menjamin kedaulatan pangan Indonesia di masa mendatang. Sayangnya, dalam RAPBN 2015, sektor pertanian hanya dialokasikan anggaran sebesar Rp 15,8 triliun-sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan alokasi Rp 13,6 triliun di APBN Perubahan 2014. Tentu ini dapat menjadi catatan bagi presiden terpilih Jokowi karena, dalam penyampaian visinya, beliau menekankan pada penyediaan lahan baru untuk kegiatan pertanian ataupun penambahan dan perbaikan infrastruktur pertanian menjadi prioritas di awal pemerintahannya.
Lalu bagaimana kita melihat visi dan misi pemerintah Jokowi di sektor keuangan dan pembiayaan? Jokowi menargetkan bahwa peran pemerintah dalam pembangunan harus ditingkatkan. Sumber penerimaan pemerintah dari sektor perpajakan akan ditingkatkan sehingga rasio pajak terhadap PDB secara bertahap ditargetkan meningkat menjadi 16 persen dari 12,3 persen dalam RAPBN 2015. Optimalisasi penerimaan pajak dapat dilakukan tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sudah bukan rahasia umum bahwa masih banyak orang kaya dan perusahaan besar yang belum membayar pajak secara wajar. Pemerintah Jokowi perlu melakukan suatu terobosan. Karena itu, perlu dukungan dari berbagai pihak untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di kelompok ini, baik secara moril, politik, maupun legal. Pembentukan lembaga penerimaan pemerintah yang terpisah dari Kementerian Keuangan tidak akan banyak menyelesaikan masalah kalau tidak didukung ketiga aspek di atas.
Harapan saat ini tentunya terletak pada tim transisi peralihan pemerintah Yudhoyono ke Jokowi di kedua belah pihak. Seyogianya pembahasan RAPBN 2015 dengan DPR perlu melibatkan tim transisi yang dibentuk Jokowi. Maka garis besar kebijakan dan program yang akan dijalankan pemerintah Jokowi-JK tahun depan dapat tertuang dalam RAPBN 2015. Tidak ada waktu bagi pemerintah baru untuk menikmati masa bulan madu yang terlalu lama. Mereka harus bergerak cepat secara aktif dan proaktif mengatasi permasalahan negara. Terakhir, yang tidak kalah penting dan mendasar bagi pemerintah Jokowi adalah memilih tim kabinet yang tepat, memiliki kemampuan teknis, dan berintegritas.
*) Kepala Ekonom Bank Mandiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo