Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Husein Ja'far Al Hadar*
Setelah sukses di Mesir, Libya, dan Yaman, kini gelombang revolusi yang berembus dari Tunisia sudah mencapai Suriah. Gelombang revolusi itu menemukan momentumnya dari aksi bakar seorang anak muda penjual buah bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia. Aksi itu kemudian memicu terjadinya "Revolusi Jasmine" di Tunisia, yang lalu menjadi bola salju yang bergulir ke mayoritas negara di Timur Tengah, menjadi peristiwa yang dikenal dengan nama "Arab Spring".
Tragedi Bouazizi sebenarnya hanyalah soal momentum. Tragedi itu sama sekali bukan penyebab. Penyebabnya justru memang ada sebagai "bom waktu" yang telah lama terpendam di beberapa negara di Timur Tengah. "Bom waktu" yang dimaksud berupa otoritarianisme dan arogansi kepemimpinan politik sebagian pemimpin di negara-negara Timur Tengah.
Revolusi memang selalu menjadi "hantu" paling ditakuti oleh setiap pemimpin negara yang menerapkan karakter kepemimpinan berbasis otoriter. Tak terkecuali di Timur Tengah. Karena itu, revolusi menjadi salah satu tema paling menarik dan penting bagi para peneliti kajian politik Timur Tengah.
Dalam artikel berjudul "Islamic Concepts of Revolution" (1972), Bernard Lewis (sejarawan Yahudi kelahiran Inggris) membahas "revolusi" dalam tinjauan kebahasaan untuk dijadikan pijakan dalam kajian sejarah-politiknya atas Timur Tengah. Di sana, Lewis memilih memahami kata tsawrah (dalam bahasa Arab berarti "revolusi") dalam maknanya sebagai "terangsang" (seperti "terangsangnya seekor unta"). Edward Said mengkritik keras pemaknaan kata tsawrah ala Lewis itu. Bahkan Said, yang menuduh Lewis sebagai seorang orientalis yang meneliti dunia Islam tak lain untuk merendahkan dan mendiskreditkan Arab dan Islam, menilai pemaknaan atas kata tsawrah itu menunjukkan sarkasme kesarjanaan Lewis.
Menurut cendekiawan Azyumardi Azra, Edward Said tampak "terlalu bersemangat" saat menuduh Lewis sebagai orientalis. Itu mungkin dipengaruhi oleh latar belakang Said sebagai pemikir politik kelahiran Palestina yang memang sangat frontal terhadap Zionisme (yang upaya akademis-sistematisnya dianggap meruntuhkan citra Islam dan Timur Tengah, termasuk melalui gerakan orientalisme). Namun, dalam kaitannya dengan pemaknaan kata tsawrah oleh Lewis, saya rasa, kritik Said mengena dan relevan karena pemaknaan itu memang terkesan tendensius sehingga tak bisa dipertanggungjawabkan secara akademis.
Secara provokatif dan tendensius, penyelewengan makna seperti itu memang sering terjadi dalam bahasa Arab dan biasanya bermotif politis. Pemaknaan sejenis itu misalnya terjadi pada kata isti'mar, yang arti dasarnya adalah "pembangun". Kata itu justru digunakan untuk memaknai kata "penjajah". Penyelewengan itu sengaja dibentuk atau dibiarkan untuk kepentingan pencitraan positif pada Israel dan sekutunya selaku penjajah Palestina dan negara Timur Tengah.
Adapun "keterangsangan", menurut Said, merupakan kata yang sengaja dipilih Lewis untuk memberi kesan masyarakat Timur Tengah layaknya makhluk seksual neurotik yang tidak memiliki bekal untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang serius (Azyumardi Azra, pengantar untuk edisi Indonesia, dalam Bahasa Politik Islam [Bernard Lewis, 1994], halaman xxx). Ini berarti kata tsawrah dilepaskan dari artinya sebagai "revolusi". Sebab, "revolusi" berarti "perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) secara mendasar yang bahkan dilakukan dengan kekerasan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2007). Dalam perkembangannya, "revolusi" memiliki makna yang penting sebagai gerakan massa secara masif dengan latar belakang kesamaan nasib dan ideologi yang dilakukan untuk merealisasi perubahan radikal demi terwujudnya tatanan kenegaraan dan keadilan yang dinilai terbaik dan ideal sesuai dengan ideologi yang diusung bersama.
Ideologi sebagai latar belakang, perubahan radikal sebagai aksi, serta tatanan kenegaraan dan keadilan yang ideal sebagai tujuan merupakan tiga komponen penting dalam pengertian dan makna sebuah revolusi. Ketiga komponen penting revolusi itulah yang menurut penulis dilewatkan atau sengaja dihapus oleh Lewis dalam pemaknaannya atas kata tsawrah yang kemudian menjadi keberatan dan menuai kritik keras dari Said.
Jika Lewis mengartikan tsawrah sebagai "keterangsangan" semata, itu berarti ia mereduksi arti tsawrah sebagai "revolusi" sekaligus seolah-olah membenarkan tuduhan Said. Sebab, keterangsangan, jikapun terkait dengan kata tsawrah, hanyalah salah satu komponen kecil dalam kata tsawrah (revolusi). Keterangsangan hanyalah momentum—atau salah satu faktor pemicu—terjadinya sebuah tsawrah. Menurut saya, posisi keterangsangan dalam kata revolusi persis seperti posisi Bouazizi dalam Revolusi Tunisia. Adapun makna tsawrah (revolusi) itu sendiri, misalnya dalam konteks "Arab Spring", adalah kesamaan nasib masyarakat Timur Tengah—yang telah lama ditindas oleh penguasa otoriter—yang membentuk ideologi kebangkitan dan pembebasan dari penindasan dengan melakukan demonstrasi masif untuk perubahan dengan tujuan mencapai tatanan masyarakat yang adil dan demokratis.
*) Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo