Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

Pemerintah Diharap Tak Terdampak Hengkangnya AS dari Perjanjian Paris

Habis Amerika terbitlah Cina. Pemerintah Indonesia diharap tetap berkomitmen terhadap Perjanjian Paris, tapi jangan hanya bermitra dengan Cina.

8 Mei 2025 | 08.31 WIB

Policy Strategist CERAH Wicaksono Gitawan (kanan) saat acara diskusi di Jakarta, Rabu, 7 Mei 2025. Tempo/M. Faiz Zaki
Perbesar
Policy Strategist CERAH Wicaksono Gitawan (kanan) saat acara diskusi di Jakarta, Rabu, 7 Mei 2025. Tempo/M. Faiz Zaki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris tidak berdampak terlalu besar terhadap Indonesia. Terpenting adalah komitmen dari Indonesia sendiri yang sudah meratifikasi perjanjian tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Indonesia sudah memiliki kewajiban untuk melaporkan ke panel yang mengurus perjanjian Paris, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),” kata Policy Strategist Indonesia Cerah Wicaksono Gitawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu, 8 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan terikat Perjanjian Paris, Indonesia memiliki kewajiban melapor ke UNFCCC lewat dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Dokumen ini berisi instrumen apa saja yang digunakan untuk mengukur strategi, kebijakan, serta rencana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh Indonesia untuk mencapai target net zero emission pada 2060.

Sebelumnya, Amerika Serikat ke luar dari Perjanjian Paris berdasarkan Perintah Eksekutif yang dibuat oleh Presiden Donald Trump pada 20 Januari 2025. Trump menganggap perjanjian iklim tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan industri dalam negeri, serta merugikan kepentingan ekonomi nasional Amerika Serikat.

Dampak bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya adalah berkurangnya pendanaan iklim, yang berpotensi mendorong mundur transisi energi fosil ke energi hijau. Terlebih lagi Pemerintahan Donald Trump juga tidak mau lagi berpartisipasi dalam program Just Energy Transition Partnership (JETP).

Peran Cina dalam Transisi Energi

Tetapi, kata Wicaksono, Amerika Serikat bukan satu-satunya mitra bagi Indonesia. Masih ada negara seperti Cina, Jepang, dan Jerman yang cenderung berinvestasi ke arah transisi energi hijau. Sedangkan Donald Trump justru menekankan negaranya melakukan eksplorasi besar-besaran energi fosil.

“Di tengah kekosongan Amerika Serikat sebagai aktor penting dalam isu transisi energi dan climate governance, yang paling kuat sekarang itu adalah Cina,” tutur Wicaksono.

Dia menyebut komitmen yang sudah ditunjukkan Cina ke Indonesia adalah investasi proyek energi terbarukan seperti baterai untuk kendaraan listrik. Meski demikian, masih terdapat catatan dalam pelaksanaan di lapangan soal pengelolaannya.

Wicaksono berpandangan posisi Indonesia yang masuk ke dalam organisasi kerja sama ekonomi dan politik Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) juga tetap bisa mendapatkan pendanaan iklim melalui New Development Bank (NDB). “Seharusnya Indonesia mendorong pembiayaan energi terbarukan dan transisi energi yang holistik,” ujarnya.

Menurut Wicaksono, Pemerintah Indonesia juga perlu berani bersikap dan memanfaatkan peluang geopolitik yang ada saat ini. Meski demikian, dia mengakui, transisi energi memang selalu meliputi isu sosial-ekonomi yang tidak terlepaskan.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad juga mengatakan, Cina saat ini memimpin sektor energi terbarukan. Berbeda dengan Amerika Serikat yang dominan di sektor perminyakan.

Namun Shofwan mengingatkan agar pemerintah Indonesia perlu meningkatkan daya tahan agenda iklim dan transisi energi supaya tidak bergantung pada satu kekuatan besar. Kemitraan pun tidak hanya dengan satu negara atau satu pihak saja untuk mewujudkan itu.

“Kita juga perlu memperkuat kemitraan multipihak dan lintas negara yang lebih kokoh dan efektif,” ucapnya dalam diskusi yang sama.

Persoalan transisi energi terbarukan, kata Shofwan, juga bukan soal masalah lingkungan saja, namun langkah strategis untuk menjamin pertumbuhan dan kedaulatan dalam jangka panjang. Diversifikasi energi terbarukan juga akan melindungi Indonesia dari dinamika harga energi fosil yang sangat dipengaruhi oleh gejolak geopolitik.

Pemerintah, kata dia, semestinya tidak menunda-nunda transisi energi terbarukan dan meneguhkan kemauan politik. “Political will yang kokoh dan berkelanjutan menjadi kunci dari perbaikan kelembagaan dan mobilisasi pendanaan,” kata Shofwan.

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus