Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENAMPILANNYA di Press Club. Jakarta, dinilai orany sebagai
"pemanasan" (warming-up). Maklum. Jenderal yang biasanya sering
pidato itu hampir setengah tahun tak terdengar suaranya. Timbul
macam-macam dugaan mengapa Letjen Ali Moertopo. 54. seakan
tersingkirkan dari peredaram Tapi yang pasti, seperti
diucapkannya di Press Club yang dihadiri oleh banyak wartawan
dalam negeri dan asing,"kesehatan mata saya telah berangsur
pulih, setelah mengalami operasi beberapa waktu lalu dan Insya
Allah mulai awal setahun ini saya sudah bisa kembali bekerja
socara aktif."
Ada hal lain yang tentunya membuat lega Wakil Kepala Bakin itu.
Harris, 18, anak Ali Murtopo, tersangka dalam peristiwa
penembakan di SMA Jl. Batu, Jakarta, sejak beberapa waktu lalu
telah dinyatakan bebas oleh pengadilan. Maka tak lupa ia
mongucap 'syukur telah dapat melewati musibah itu tengan penuh
ketabahan."
Jenderal Ali membacakan keterangan yang 17 lembar dengan
melepaskan kaca-mata. Ia tak tampak seangker dulu. Mungkin
karena kaca-mata hitamnya kini agak bening. Ia juga mengaku
lebih berat 6 kilo, karena tidur dan makan yang teratur di
rumah sakit.
Tak ada yang baru dari keterangannya tapi seperti biasa
menyentuh banyak soal. Ia kembali mengulangi teori pendulum-nya
yang melihat perkembangan politik di Indonesia kini "bergerak
tari kiri ke kanan dan sebaliknya." Ia juga menguatkan lagi
dukungannya kepada Presiden Soeharto dan Sri Sultan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden untuk masa lima tahun mendatang.
Kepada generasi muda yang kini aktif unjuk sikap, ia minta agar
'pandai-pandai membaca peta politik di Indonesia."
Tentang masalah internasional, ia antara lain mengingatkan
perlunya dipasang para pejabat yang mengerti masalah bisnis,
apalagi karena berkurangnya pendapatan kita dari ekspor minyak
(lihat Ekonomi-Bisnis).
Banjir dan PDI
Tapi esoknya, selepas melapor pada Presiden di Bina Graha, ada
juga berita yang disampaikan Ali Murtopo. Ia menyatakan bahwa
Presiden tak akan sampai menempuh jalan dengan membekukan partai
PDI yang lagi ricuh itu. Ketika di Press Club ia juga menyatakan
menerima baik undangan dari kelompok Mh. Isnaeni untuk memberi
sambutan pada HUT PDI ke-5 yang akan diadakan di Sala. Maka
mengingat acara itu akan berlangsung 17 Januari ini - tapi
kemudian diundur jadi 24 Januari dengan alasan "takut ada
banjir" di kota - Ali Murtopo merasa yakin keributan itu sudah
bisa mencapai penyelesaian sebelum tanggal 17 itu.
Banjir atau tidak, seorang pembantu dekatnya beranggapan "pak
Ali tentu ingin ke Sala kalau urusan PDI itu sudah beres."
Dengan kata lain, ia "tak ingin menimbulkan kesan yang
memenangkan satu pihak saja."
Terkabul. Pada pukul satu siang 16 Januari, timbul kompromi
antara PDI hasil kongres dengan PDI 'tandingan'. Kompromi itu
lahir di markas besar Bakin di Jl. Sonopati dekat Senayan,
setelah ricuh selama dua bulan. Berunding selama 3 jam, dihadiri
Ka Bakin Yoga Sugama dan Waka Bakin Ali Murtopo, kedua kelompok
pimpinan PDI itupun berhasil menyusun daftar anggota DPP
penyatuan.
Hasil kompromi yang digodok di Bakin itu akhirnya tetap
menampilkan Sanusi Hardjadinata sebagai ketua umum. Ia
didampingi tak kurang dari 15 ketua, masing-masing: Mh. Isnaeni
menggantikan Gde Djaksa, A. Wenas, Wignyosumarsono, Achmad
Sukarmadidjaja, Muhidin Nasution, Sunawar Sukowati Tahamata, J.
Palaunsuka, Andi Tanri. JB Andries, Hardjanto Sumodisastro, TAM
Simatupang, R.G. Duriat, Prof. Usep Ranawidjaja dan A. Madjid.
Adapun Sekjen PDI tetap dipegang Sabam Sirait dengan beberapa
wakil, a.l. Aberson, dr Adi Tagor, Djon Pakan dan V.B. Da Costa.
Sedang Bendahara Umum ada',ah G. Sani Fenat dibantu 4 bendahara,
a.l. Ny. Walandou.
Dari kelompok Sanusi ada beberapa yang tak masuk, antara lain
Gde Djaksa dan Rasyid Sutan Raja Mas. Sedang dari PDI
'tandingan' semuanya masuk, kecuali Marsoesi dari Jawa Timur.
Bisa dipastikan ada yang tak senang dengan PDI hasil kompromi
ini. Tapi Ali Murtopo, seperti kata seorang yang hadir, tertawa
lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo