Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara Dollar Dan Rupiah

Penduduk Aceh tengah mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani kopi & tembakau. Kopinya dari jenis robusta yang berkwalitas ekspor. Daun tembakau dijual dalam bentuk cincangan kering. (dh)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kabupaten Aceh Tengah ada pemeo yang kesohor. "Kopi itu dolar, tembakau adalah rupiah." Kedua tanaman ini ada di lereng-lereng bukit berhawa sejuk sudah merupakan mata pencaharian utama penduduk sana. Yang keliwat masyhur di Aceh memang kopi Aceh Tengah -- berimbang dengan kopi asal Dairi di Propinsi Sumatera Utara. Tapi mengenai kopi itu Bupati M. Beni Bantacut pernah mengeluh: "Harga kopi itu ditentukan semena-mena oleh si pembelinya atau sang eksportir." Tentu saja pengekspor tak membeli langsung dari ladang petani -- lewat perantara atau sub agen. Jalurnya jadi berantai, sehingga petani hanya menerima harga penjualan sekitar sepertiga dari harga beli, kata Beni. Walau begitu si petani kopi tak perduli. Dalam sekali musim panen berani melego hasil kebun mereka dengan harga berkisar Rp 1.500 sampai Rp 2.000 per kg. Rata-rata petani sana memiliki kebun kopi sekitar 1 hektar. Sedang Aceh Tengah setahun dapat menghasilkan biji kopi hampir 11 ribu ton. Kopi ini bermutu paten, dari jenis Robusta. Sedang luas kebun kopi di seluruh Aceh Tengah, menurut catatan di Kantor Bupati, 20.057 hektar. Agak beda dengan tembakau yang masih diolah secara sederhana. Luas kebun yang dimiliki penduduk berkisar 2.500 hcktar, di seluruh kawasan Aceh Tengah yang bangga dengan Danau Laut Tawar-nya itu. Kabupaten ini memang subur untuk tumbuh-tumbuhan semacam itu. "Tanam saja tembakau. Pasti tumbuh menghijau, tanpa pupuk," kata seorang petani di Bandar Lampahan. Di kampung itu luas kebun tembakau -- seluruhnya milik pribadi para petani -- 475 hektar. Dan Randar Lampahan yang berpenduduk 1.225 jiwa itu pun kesohor sebagai desa penghasil bahan cerutu di samping kopi. Entah kenapa, tembakau dari sini keliwat lemak kendati tumbuhnya tak perlu disisip dengan pohon ganja. Selain hasil sawah, dari tembakau saja para petani di situ tak pernah khawatir akan mengalami getir. Malah untuk membiayai sekolah anak dan beli skuter cukup dengan menjual tembakau. Biasanya mereka lego ke Medan, atau ke Pematang Siantar dan Kisaran di Sumatera Utara, terutuma ke pabrik rokok. Untuk tembakau suntil dan lintingan, cukup dijual ke Pusat Pasar Medan. Istilah tembakau Takengon terbilang dikenal di sentral pasar yang banyak pencopet itu. Tapi petani di Bandar Lampahan juga punya klasifikasi terhadap cincangan tembakau -- yang mereka kerjakan dengan tangan dan pisau iris yang tajamnya bagai silet itu. Tembakau yang sudah dipetik dari pohonnya mereka biarkan dulu dalam keadaan basah. Lalu dijepit dengan belahan bambu, dan baru diiris halus dengan pisau yang mirip mata guillotine. Hasil irisan ini dijemur dan dipisahkan. Yang keliwat hitam dan kasar, dinyatakan bermutu rendah. Yang irisannya halus bagai rambut, dan kekuningan, kwalitasnya jempolan. Dari sortiran itu terdapatlah klas-klas tembakau sehingga mudah melempar ke pasaran lebih mantap memberi harga. Tambahan kwalitas ekspor, yang mereka sebut dengan istilah lose, rata-rata harga jualnya mereka tetapkan Rp 2.500 per kg. Malah kalau permintaan meningkat harganya bisa melonjak jadi Rp 3 ribu per kilo. Ada juga "tembakau Medan". Nama ini untuk kwalitas nomor 2 dan biasanya harganya bermain-main dari Rp 800 sampai Rp 1.000 per kilogram. Adapun untuk tembakau yang dihasilkan dengan mutu corot, atau di pasaran disebut kwalitas 'c', si petani membikin harganya antara Rp 400 sampai Rp 500 per kg. Biasanya tembakau kwalitas itulah yang dilego ke pabrik rokok kretek di Pematang Siantar. Sebelum sampai ke Medan, biasanya dikumpulkan lebih dahulu di Bireuen. Untuk pergi ke Takengon orang juga harus melewati jalan di tepi gunung sampai 100 km di pedalaman sana. Jalan ke sana memang mulus beraspal, dikelilingi pohon pinus. Semuanya akan lancar sampai di tujuan, kalau di jalanan tak terjadi tanah longsor (seperti baru-baru ini, dan lebih 10 orang meninggal). Masih soal tembakau, untuk seluruh Aceh Tengah dalam setahun diketahui dapat dihasilkan lebih 1.500 ton. Selama manusia masih suka merokok, petani di sana tak perlu gusar melanjutkan tradisi tembakau sebagai mata pencaharian mendarah daging turun-temurun. Lagi pula kebun tembakau di Aceh Tengah itu belum pernah diancam wabah penyakit atau diserbu wereng. Cuma, pengolahan tembakau secara mekanis sampai hari ini belum pernah difikirkan. Kendati kecil-kecilan. Tapi betulkah 'yang mekanis' selalu bermanfaat bagi rakyat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus