Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah aktivis yang selama ini menyuarakan penutupan PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) bertemu singkat dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Pertemuan terjadi usai Jokowi mengikuti acara penyerahan Surat Keputusan (SK) Hutan Sosial, Hutan Adat, dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Kamis, 3 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Kami difasilitasi bu Menteri LHK untuk ngobrol dengan Pak Presiden," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, saat dihubungi, Kamis, 3 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Saat itu, kata dia, Siti langsung menghadap ke Jokowi usai acara dan mengatakan ada teman-teman aktivis yang selalu ribut mendesak Toba Pulp Lestari ditutup. "Ya memang harus ribut," kata Roganda menirukan reaksi Jokowi saat mendengar ucapan Siti.
Roganda pun mengaku menyampaikan langsung kepada Jokowi ihwal tuntutan yang selama ini disuarakan masyarakat adat Tano Batak agar Toba Pulp Lestari ditutup. Bagi dia, penutupan Toba Pulp Lestari ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendukung pariwisata dan kelestarian Danau Toba.
Jokowi, kata dia, mengatakan bahwa dirinya sudah mengetahui permasalah yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan ini. Akan tetapi, Jokowi menyebut kalau Toba Pulp Lestari merupakan perusahaan terbuka. "Jadi harus pelan-pelan mempelajari persoalan ini," kata dia menyampaikan pesan Jokowi.
Usai pembicaraan singkat tersebut, Roganda pun menyerahkan kembali pernyataan sikap perihal penutupan Toba Pulp Lestari ini kepada Jokowi melalui ajudannya. "Ada surat dua lembar, alasan kenapa Toba Pulp Lestari harus ditutup," kata dia.
Masyarakat Adat vs Toba Pulp Lestari
Persoalan antara masyarakat adat dan Toba Pulp Lestari sudah terjadi beberapa tahun terakhir, mulai dari dugaan masalah pencemaran lingkungan sampai sengketa tanah. Agustus 2019, masyarakat adat Tano Batak unjuk rasa di depan kantor KLHK memprotes pemberian konsesi hutan bagi Toba Pulp Lestari.
Mei 2021, terjadi kerusuhan antara warga sekitar dan petugas keamanan Toba Pulp Lestari saat pekerja pabrik mau menanam bibit eucalyptus. Direktur Toba Pulp Lestari Jandres Silalahi mengatakan aksi yang tidak diharapkan dilakukan sekelompok masyarakat di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta stakeholders lainnya.
“Kami menyesalkan terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Aksi sekelompok masyarakat itu terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada,” kata Jandres dalam keterangan tertulis.
Dia bilang, lokasi penanaman merupakan konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman keenam, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992 Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Pasca kejadian, PT TPL menyatakan akan terus mendorong dialog dan solusi yang damai dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan soal sengketa tanah dan tidak mengedepankan aksi-aksi yang dapat merugikan kedua-belah pihak. Perusahaan juga terus menjalankan program-program sosial melalui kolaborasi dengan masyarakat sekitar melalui kemitraan kehutanan meliputi tumpangsari tanaman pangan di area tanaman produksi serta pola tanaman kehidupan.
Juli 2021, Sebanyak sebelas warga Sumatera Utara jalan kaki ke Jakarta menuntut penutupan Toba Pulp Lestari. Mereka menyatakan keberadaan Toba Pulp Lestari selama lebih dari tiga dekade telah merusak lingkungan dan menyusahkan kehidupan masyarakat adat setempat.
Togu Simorangkir, salah satu warga mengatakan aksi jalan kaki ini merupakan akumulasi atas berbagai peristiwa yang dialami masyarakat adat setelah keberadaan Toba Pulp Lestari. "Aksi ini bentuk kegeraman dan kemuakan terhadap TPL yang selalu semena-mena terhadap masyarakat ada," kata Togu.
Tim sebelas ini sempat bertemu Jokowi di Istana. Menurut Togu, Presiden menyebut cukup sulit memenuhi tuntutan masyarakat untuk menutup PT. TPL. "Beliau (Jokowi) mengatakan, pada prinsipnya, kalau untuk menutup TPL itu katanya agak sulit, karena memang akan ada hal-hal yang perlu dipelajari," ujarnya.
Bursa Efek Indonesia (BEI) lantas meminta penjelasan kepada Toba Pulp Lestari soal aksi 11 warga ini. Terkait upaya penyelesaian konflik agraria dengan masyarakat adat, Sekretaris Perusahaan Toba Pulp Lestari Anwar Lawden salah satunya mengatakan ada 10 klaim lahan yang telah terdaftar.
"Perseroan telah berhasil menyelesaikan 9 dari klaim-klaim tersebut dengan menerapkan kerjasama kemitraan kehutanan bersama dengan masyarakat," lata dia, dalam Keterbukaan Informasi, 3 Agustus 2021.
Kala itu, Anwar juga menyampaikan tidak ada gugatan terkait klaim lahan. Semua klaim tanah adat di areal konsesi perseroan, kata dia, disampaikan sesuai prosedur hukum karena pihak yang menyampaikan klaim memahami. "Bahwa perseroan merupakan pemegang izin konsesi di atas kawasan hutan negara, bukan pemilik tanah," kata dia.
Pertemuan dengan Menteri Siti
Roganda tidak sendirian dalam pertemuan singkat dengan Jokowi, tapi bersama Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi. Delima juga membenarkan bahwa pembicaraan singkat difasilitasi oleh Menteri Siti.
Menurut Delima, Jokowi mengatakan Toba Pulp Lestari merupakan perusahaan terbuka sehingga memang harus tetap dipelajari terlebih dahulu sebelum diambil tindakan. "Kira-kira begitu yang disampaikan Presiden," kata dia.
Tapi saat gladi resik sehari sebelum acara ini, Roganda dan Delima mengatakan mereka sudah diajak bicara oleh Menteri Siti terkait desakan mereka untuk menutup Toba Pulp Lestari. Roganda meminta Siti untuk segera mencadangkan hutan ada yang ada di area konsesi Toba Pulp Lestari dalam rangka penyelesaian konflik ini.
"Respon bu menteri positif, dia katakan ya itu akan terus kami kejar agar masyarakat adat bisa dapatkan hak-haknya, ada tahapan," kata Roganda.
Tempo mengkonfirmasi kepada Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin dan Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugrah, tapi belum ada jawaban. Pesan WhatsApp yang disampaikan juga sudah dibaca, tapi belum ada balasan.