Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Cerita STM 'Wani' di Tengah Penggembosan Demo Gejayan Memanggil 2

Pelajar STM atau SMK di Yogyakarta tetap mengikuti demo bertajuk Gejayan Memanggil 2 pada Senin, 30 September 2019 lalu.

7 Oktober 2019 | 11.15 WIB

Pelajar STM berorasi dalam demonstrasi bertajuk #Gejayan Memanggil 2 di Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani
Perbesar
Pelajar STM berorasi dalam demonstrasi bertajuk #Gejayan Memanggil 2 di Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelajar STM atau SMK di Yogyakarta tetap mengikuti demo bertajuk Gejayan Memanggil 2 pada Senin, 30 September 2019 lalu. Padahal mereka ada dalam tekanan untuk tak ikut turun ke jalan bersama mahasiswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Para pelajar ini ikut berembug dengan mahasiswa membahas rencana unjuk rasa bertajuk Gejayan Memanggil jilid dua. Sekelompok siswa dari sejumlah sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta duduk bersama mahasiswa di Kantin Bonbin Universitas Gadjah Mada, Sabtu sore, 28 September.
Setidaknya ada 20 pelajar yang ikut dalam pertemuan itu. Kepada mahasiswa, pelajar berkeluh kesah ihwal keinginan mereka berdemonstrasi yang terhalang oleh sekolah dan polisi. “Kalau ketahuan ikut demo, pihak sekolah mengancam keluarkan kami,” kata seorang siswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ancaman itu membuat sebagian pelajar yang ingin mengikuti demo mundur teratur. Demonstrasi Gejayan Memanggil 2 yang memprotes berbagai Rancangan Undang-Undang kontroversial dan menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, akhirnya tak diikuti banyak pelajar.

Semula demonstrasi massa bernama Aliansi Rakyat Bergerak ini menargetkan 2 ribu pelajar untuk bergabung dalam aksi tersebut. Tapi, jumlah siswa yang bergabung hanya 200-an pelajar. Humas Gejayan Memanggil jilid 2, Syahdan menyebutkan jumlah pelajar tidak sesuai target awal karena adanya upaya penggembosan yakni larangan pelajar berdemonstrasi. “Padahal mahasiswa dan pelajar berusaha keras untuk aksi damai,” kata Syahdan, Jumat, 4 Oktober 2019.

Ribuan massa memadati kembali kawasan Gejayan dalam aksi Gejayan Memanggil Senin (30/9). Tempo/Pribadi Wicaksono

Penggembosan itu menurut tim Gejayan Memanggil terjadi sejak Jumat, 28 September. Polisi mendatangi sekolah-sekolah di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman dengan dalih pembinaan untuk melarang siswa siswi terlibat unjuk rasa.

Kepolisian Resor Kota Yogyakarta dan Kepolisian Sektor Wirobrajan Yogyakarta misalnya mendatangi sejumlah sekolah di kota tersebut dan merekam pernyataan siswa siswi menolak untuk ikut unjuk rasa dalam bentuk video. Polresta Yogyakarta mengunggah video dan foto-foto siswa yang menolak terlibat demonstrasi di akun instagram polresjogja.

Kepala Kepolisian Resor Kota Yogyakarta Komisaris Besar Polisi Armaini mengatakan sebelum demonstrasi berlangsung pada 30 September, anggotanya turun ke sekolah-sekolah mengingatkan siswa agar tidak turun ke jalan dan fokus belajar. Alasannya untuk menghindari eksploitasi siswa yang masuk kategori anak atau di bawah 18 tahun. “Kami tidak ingin ada eksploitasi dan aksi anarkistis,” kata Armaini.

Polisi mendatangi sekolah-sekolah itu setelah beredar selebaran yang isinya mengajak siswa untuk turun ke jalan, berkumpul di Titik Nol. Selebaran itu bertajuk Siswa/siswi Indonesia Bergerak-Catatan Akhir Dikorupsi 2019 dari Siswa/Siswi Yogyakarta. Menurut Armaini, selebaran ini tidak mencantumkan nama penanggung jawab demonstrasi.

Alasan lain polisi mendatangi sekolah adalah mencegah aksi demonstrasi seperti yang dilakukan siswa STM di Jakarta. Polresta memantau jumlah siswa yang ikut demonstrasi sebanyak 50-an di Titik Nol. Mereka kemudian bergabung dengan demonstrasi Gejayan Memanggil di Jalan Affandi atau Gejayan.

Siswa yang menolak aksi demonstrasi dalam video itu di antaranya SMA Muhammadiyah 3, SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta, SMA Negeri 10 Yogyakarta. Wakil Kepala Sekolah urusan kesiswaan SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta, Sahid Ali mengatakan sekolah mengikuti surat edaran yang dikeluarkan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta yang isinya melarang siswa meninggalkan pelajaran pada jam-jam pelajaran sekolah. Surat edaran yang diteken kepala dinas, R. Kadarmanta Baskara Aji itu muncul sejak 26 September.

Pihak SMA Muhammadiyah 3 mengumpulkan siswa siswinya di lapangan sekolah, Jumat, 28 September pukul 10.00. Sebanyak 12 petugas dari Polresta Yogyakarta dan Polsek Wirobrajan mendatangi sekolah tersebut. Mereka merekam pernyataan siswa siswi yang berkomitmen untuk tidak ikut demonstrasi dalam bentuk video. “Polisi menghimbau agar siswa siswi tidak ikut demonstrasi,” kata Sahid.

Tempo mendapatkan surat edaran dari sejumlah sekolah yang isinya melarang siswa berunjuk rasa. Kepala SMA N 11 Yogyakarta, Rudy Rumanto membuat surat edaran yang isinya melarang siswa siswi berdemonstrasi. Surat dibuat setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga mengeluarkan surat edaran tentang larangan demonstrasi.

Surat edaran bertanda tangan Menteri Muhadjir Effendy tertanggal 27 September tentang pencegahan keterlibatan peserta didik dalam aksi unjuk rasa yang berpotensi kekerasan. Surat edaran ditujukan kepada gubernur, bupati, walikota, kepala dinas pendidikan agar mencegah peserta didik ikut unjuk rasa yang berpotensi pada tindakan kekerasan, kekacauan, dan pengrusakan.”Siswa tidak diperkenankan untuk unjuk rasa karena usia mereka di bawah 17 tahun,” kata Rudy.

Imbauan agar siswa tidak ikut unjuk rasa sudah ada sejak Kamis siang, 27 September. Balai Pendidikan Menengah Kota Yogyakarta mengumpulkan sejumlah kepala sekolah di SMA Negeri 7 untuk membahas surat edaran agar siswa tidak ikut unjuk rasa. Petugas Polresta juga datang dalam pertemuan ini.

Selain surat edaran larangan siswa ikut unjuk rasa, Tempo juga mendapatkan surat pernyataan sebagai bagian dari sanksi sekolah bila siswa tersebut ikut demonstrasi. Surat pernyataan tertanggal 1 Oktober 2019 berbunyi di sekolah telah menginstruksikan dan memberitahukan melalui grup wali siswa dan perwakilan kelas untuk melarang pelajar mengikuti demonstrasi Gejayan Memanggil jilid 2. Jika siswa melanggar peraturan sekolah tersebut dan mengulanginya, maka siswa dikembalikan ke orang tua atau (dropout).

Seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Bantul yang tidak masuk sekolah karena mengikuti demonstrasi Gejayan Memanggil jilid 2 diminta untuk menandatangani surat pernyataan tersebut. “Saya dan teman-teman disuruh buat surat pernyataan. Kalau nggak buat akan kena DO,” kata siswa tersebut.

Kepala Tata Usaha MAN 3 Bantul, Yuni Kriswati membantah sekolahnya mengancam mengeluarkan siswanya bila ketahuan ikut demonstrasi. Dia mengatakan sekolah mengimbau siswa-siswinya untuk tidak ikut berdemonstrasi karena orang tua dan pihak sekolah mengkhawatirkan keselamatan mereka. “Sekolah mengantisipasi karena mereka belum waktunya ikut demonstrasi. Nanti kalau sudah jadi mahasiswa,” kata Yuni.

Meski ada surat edaran yang disebar ke sekolah-sekolah, tapi sejumlah pelajar sekolah teknik menengah (STM) di Yogyakarta tetap mengikuti demo mahasiswa Gejayan Memanggil jilid dua. Pelajar melebur bersama ribuan demonstran dari kalangan mahasiswa, jurnalis, dan aktivis Hak Asasi Manusia.

Mereka berjalan dari dua arah, yakni kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menuju pusat massa berkumpul, yakni di Jalan Affandi atau Gejayan. Seorang pelajar pun berorasi dari mobil pikap. “STM wani (berani) bersama mahasiswa,” teriak pelajar itu.

 

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus