Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu, Rabu pekan lalu, Arnold Baramuli membisikkan info penting. ''Besok siang," katanya, bakal ada kejutan. Rudy Ramli, pemilik Bank Bali, yang terjerat kasus piutang lebih dari Rp 900 miliar, akan mengeluarkan surat pernyataan untuk menyangkal catatan harian yang dibuat Rudy sebelumnya. Catatan yang sempat beredar luas itu memang gawat. Isinya berbagai pertemuan Rudy dengan tokoh-tokoh penting negeri ini. Pembocoran catatan itu akhirnya menelanjangi keterlibatan Tim Sukses Habibie dan sang RI-1 dalam skandal Bank Bali. Maka, Baramuli, sekutu utama Habibie yang penggalang Iramasuka Nusantara itu, sambil tersenyum, meyakinkan kebenaran infonya, "Percayalah sama saya."
Benar saja, ''ramalannya" terbukti jitu. Kamis malam, 26 Agustus, seusai sidang kabinet di Bina Graha, Menteri-Sekretaris Negara Muladi menebar secarik surat pernyataan. Yang meneken tak lain Rudy Ramli, saksi kunci Baligate—begitu kasus Bank Bali disebut pers. Isinya, ya itu tadi, Rudy Ramli menyanggah catatan hariannya. Tapi ia tidak membantah tiga hal, antara lain pertemuannya dengan orang World Bank dan dua kali kedatangannya ke rumah Menteri Keuangan Bambang Subianto sekitar April-Mei tahun ini (lihat tabel). Itu pun tujuannya cuma untuk membicarakan rekapitalisasi Bank Bali. Satu lagi yang tidak dibantah Rudy adalah kata-kata bahwa ia akan cuti ke luar negeri pada bulan Juni.
Banyak yang terperanjat dengan dicabutnya catatan harian Rudy ini. Sebelumnya, catatan itu diyakini sahih. Kubu PDI Perjuangan, pihak yang pertama kali menerima catatan harian itu, langsung bereaksi keras. Sehari kemudian, dengan mengatasnamakan Badan Penelitian dan Pengembangan PDI-P, Rudy diadukan ke Markas Besar Kepolisian RI atas tuduhan telah membuat pernyataan bohong dalam surat tertanggal 24 Agustus yang diumumkan Menteri Muladi itu.
Sejauh ini, pihak PDI-P haqqul yakin bahwa pengakuan Rudy sebelumnya benar adanya. Mereka pun membuka kartu. Kronologi rinci pertemuan dengan Rudy dibeberkan. Intinya—seperti diungkap TEMPO edisi lalu—pada 12 Agustus petang, Rudy datang ke kantor Dim Hart & Ass di lantai 11 Menara Kadin, Jakarta. Ia didampingi adiknya—Herman Ramli—dan empat mantan direksi Bank Bali. Dari PDI-P hadir enam orang, antara lain Kwik Kian Gie dan Dimyati Hartono, si empunya kantor pengacara itu. Saat itulah, di depan sekian banyak saksi mata, mantan bos Bank Bali ini membeberkan kesaksian yang kemudian dikenal sebagai catatan harian itu.
Maka, ketika Rudy mencabut catatannya, pengamat pasar uang Theo F. Toemion, yang juga hadir saat itu, tak habis pikir. Ia mengaku mengatur pertemuan itu setelah dikontak Herman Ramli. Lagi pula, dalam forum itu, Rudy menyertakan setumpuk bukti, termasuk arus transfer dana. ''Gila banget bukti-bukti itu," katanya lagi. Saat ini, dokumen penting itu masih tersimpan rapi di laci Kwik dan Badan Litbang PDI-P.
Selain via Theo Toemion, pertemuan itu juga direncanakan melalui Deputi SDM Badan Litbang PDI-P Mayjen Polisi (Purn.) Hartoyo. Dua hari sebelumnya, mantan Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara itu dihubungi Rudy melalui telepon genggamnya. Hartoyo bukan orang asing di keluarga Ramli. Ia adalah kawan akrab Toni Soegiri, kakak sepupu Rudy.
Karena itulah Deputi Bidang Politik PDI-P Mayjen Polisi (Purn.) Sidarto Danusubroto menuding ada rekayasa di balik pencabutan itu. Rekayasa itu, katanya, tampak di surat pernyataan yang salah menulis ejaan nama Rudy dengan ''Rudi". Sidarto menengarai bantahan itu bukan dibuat Rudy sendiri. ''Dia tinggal disuruh menandatangani," katanya. Lebih jauh, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat itu juga mendesak aparat agar mengonfrontir kesaksian Rudy dengan pihaknya dan memeriksanya dengan alat uji kebohongan.
Kejanggalan berikutnya, kata Sidarto, terlihat dari cara sanggahan itu disampaikan. Yang berkepentingan, Rudy dan tim pengacaranya, sama sekali tidak tampil. Peran aktif justru diambil Menteri Muladi. Kepada TEMPO, pengacara Rudy, Adnan Buyung Nasution, menyatakan tak tahu-menahu. ''Abang justru marah karena tidak diberi tahu dulu," katanya.
Menteri Muladi mengatakan bahwa pernyataan bersegel itu baru diterimanya Kamis siang, 26 Agustus, melalui seorang kurir. Tapi sumber lain di Sekretariat Negara mengungkapkan bahwa rencana itu sudah diketahui Muladi sejak Senin, 23 Agustus. Jika keterangan ini benar, itu artinya Menteri Muladi mengetahui isi surat tersebut sebelum diteken Rudy Ramli. Sebab, Rudy menekennya pada Selasa, 24 Agustus.
Lalu, siapa yang mengatur munculnya surat sangkalan dari Rudy Ramli ini? Seorang pejabat di Sekretariat Negara menyebut-nyebut peran dari sejumlah orang dekat Baramuli. Saat dikonfirmasi, Baramuli cuma mengatakan, ''Ada yang memberi tahu saya." Sementara itu, Rudy sampai sekarang seperti lenyap ditelan bumi. Ia kabarnya ketakutan ditembak orang-orang yang disebutnya dalam catatan hariannya dan memilih berpindah-pindah tempat tinggal.
Alhasil, skandal ini makin gelap. Tapi sejumlah langkah untuk mengungkap kabut tebal ini ma-sih terus berlangsung. Badan Pemeriksa Keuangan telah menunjuk auditor internasional PricewaterhouseCoopers untuk menelusuri arus dana klaim Bank Bali di Bank Indonesia, sementara tekanan berat masih terus dilancarkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Berbagai kalangan juga mendesak agar DPR menggunakan hak angketnya.
Sementara itu, sejak pekan lalu, terdengar kabar adanya memo rahasia dari Presiden Habibie ke alamat Menteri Keuangan Bambang Subianto untuk memuluskan klaim Bank Bali. Kopi dokumen itu, kabarnya, berada di tangan salah seorang anggota Komisi VIII dari Fraksi Beringin—dan siap dibuka setiap saat. Sayang, Ichsanuddin Noorsy, yang juga anggota komisi itu, menolak mengungkapkan sejauh mana kebenarannya. Menteri Muladi juga membantahnya meski berjanji akan mengecek kabar ini.
Jadi, seperti ratusan skandal lain di republik ini, Baligate masih diselimuti kabut tebal.
Karaniya Dharmasaputra, Hani Pudjiarti, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo