Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Imparsial, menilai penambahan Komando Daerah Militer atau Kodam di semua provinsi lebih menyiratkan ada kehendak untuk melanggengkan politik dan pengaruh militer, khususnya matra darat dalam kehidupan politik dan keamanan dalam negeri seperti zaman Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan hal ini jauh dari tujuan memperkuat peran TNI dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Padahal, kata dia, rencana Kementerian Pertahanan ini menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai kalangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan harus menghentikan rencana penambahan Kodam di semua Provinsi Indonesia. Selain tidak berkontribusi memperkuat pertahanan negara, penambahan Kodam hanya akan menimbulkan sengkarut pengelolaan keamanan dalam negeri dan berdampak buruk bagi demokrasi,” kata Gufron Mabruri dalam keterangan tertulis, Selasa, 23 Mei 2023.
Dinilai pemborosan anggaran
Selain itu, Imparsial berpendapat penambahan Kodam untuk seluruh provinsi di Indonesia juga sebagai bentuk pemborosan anggaran pertahanan negara di tengah terbatasnya anggaran untuk pemenuhan dan modernisasi alutsista saat ini.
Gufron juga meminta Pemerintah dan DPR segera melakukan restrukturisasi komando teritorial (Kodam hingga Koranmil) dan digantikan dengan model postur dan gelar kekuatan militer yang lebih kontekstual dengan dinamika ancaman dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Selain itu, Imparsial juga meminta Presiden untuk mengevaluasi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto karena banyak kebijakannya malah memundurkan agenda reformasi TNI 1998, termasuk salah satunya rencana penambahan Kodam di seluruh provinsi.
Alasan penolakan
Gufron Mabruri membeberkan alasan Imparsial menolak rencana ini. Menurut dia, penambahan Kodam di setiap provinsi menunjukkan pemerintah tidak memiliki visi yang reformis di bidang pertahanan negara, khususnya untuk menjaga dan mengawal reformasi TNI sebagai aktor penting di dalamnya.
“Alih-alih akan memperkuat pertahanan negara, penambahan Kodam di tiap provinsi mengkhianati amanat reformasi TNI 1998 dan justru berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi,” ujarnya.
Ia menilai penambahan Kodam menunjukan masih kuatnya orientasi pembangunan postur dan gelar kekuatan TNI yang lebih banyak ditujukan dan diorientasikan “inward looking” dan bukan “outward looking” dengan dominannya persepsi ancaman internal. Hal ini, kata dia, berimplikasi pada kecenderungan terlibatnya militer dalam kehidupan politik, dan sebagai konsekuensinya sulit untuk menciptakan TNI sebagai alat pertahanan negara yang kuat, profesional, dan modern.
“Penting dicatat, agenda reformasi TNI 1998 telah mengamanatkan kepada otoritas politik, dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk merestruktuisasi komando teritorial, yaitu eksistensi Kodam hingga Koramil di level yang paling bawah,” kata dia.
Selanjutnya: Berdasarkan pengalaman masa Orba..
Gufron menyebut pelaksanaan agenda tersebut senafas dengan upaya penghapusan peran sosial-politik ABRI/TNI yang didorong pada 1998. Sebab, pengalaman historis di era Orde Baru lebih berfungsi sebagai alat politik kekuasaan, bukan untuk pertahanan negara.
Ia menjelaskan penghapusan Komando Teritorial secara tersirat telah diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang TNI, yang menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.”
“Dengan dasar tersebut, eksistensi komando teritorial mestinya dihapuskan, bukan ditambah dan disesuaikan mengikuti jumlah provinsi di Indonesia,” kata dia.
Menurut Gufron, dengan masih kuatnya persepsi ancaman internal dan orientasi inward looking, prajurit TNI yang ditempatkan dan mengisi struktur teritorial tersebut, mulai dari Kodam hingga Koramil akan lebih banyak disibukkan untuk mengurusi persoalan politik, sosial masyarakat dan isu keamanan dalam negeri, dan bukan fokus ke tugas pokoknya dalam menghadapi ancaman eksternal dari negara lain.
“Dengan semakin menguatnya Komando Teritorial, ruang dan kecenderungan bagi militer untuk berpolitik menjadi tinggi,” kata dia.
Secara organisasional, menurut Gufron, Komando Teritorial dibangun dengan asumsi pembagian administrasi pemerintahan, karena itu strukturnya menduplikasi birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah hingga di level yang paling rendah. Dengan struktur semacam itu, pimpinan atau komandan Komando Teritorial dapat terlibat secara langsung dengan pemerintah daerah, termasuk untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan di daerah.
“Aparat teritorial akan lebih banyak bertugas atau berkaitan dengan urusan politik, keamanan dalam negeri, dan pemerintahan sipil,” kata dia.
Ia menyebut pengalaman historis menunjukkan Komando Teritorial menjadi instrumen kontrol terhadap masyarakat, termasuk, misalnya, digunakan dalam menghadapi konflik agraria yang terjadi di daerah.
Sebelumnya, Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan penambahan struktur teritorial TNI Angkatan Darat penting untuk memperkuat pertahanan Indonesia. Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigadir Jenderal Hamim Tohari menyampaikan bahwa TNI AD telah mengirimkan surat ke Mabes TNI, dan rencana penambahan Kodam di tiap provinsi prosesnya sekarang ada di Mabes TNI.
Pilihan Editor: Pengamat Menilai Perluasan Kodam di Tiap Provinsi Belum Urgen