Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bukan 7, tapi 8 jenderal yang semestinya akan dijemput kelompok G30S pimpinan Letkol Untung pada Jumat dini hari 1 Oktober 1965.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain 6 jenderal yang gugur menjadi Pahlawan Revolusi, dan Jenderal AH Nasution yang selamat dari penculikan, ada nama Brigadir Jenderal Ahmad Sukendro dalam target operasi. Namanya disebut berulang kali dalam sebuah dokumen CIA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan namanya dicoret. Boleh jadi itu karena alasan teknis semata, sebab pada saat itu, Sukendro sedang berada di Beijing Cina mewakili Pemerintah RI dalam rangka perayaan Hari Kelahiran Cina.
Kelahiran Banyumas tahun 1923, Brigjen Ahmad Sukendro dikenal sebagai jenderal intelijen di Angkatan Darat. Ia dikenal sebagai tangan kanan Jenderal AH Nasution. Sukendro pernah menjabat sebagai Kepala Intelijen Markas Besar Angkatan Darat.
Karir militernya dimulai di zaman Jepang, ia memilih mendaftar menjadi anggota PETA. Saat revolusi berkecamuk, Sukendro bergabung dengan BKR cikal bakalTNI, di Divisi Siliwangi. Di sanalah Nasution menemukan Sukendro, dan ia segera tahu bahwa Sukendro bukanlah perwira biasa pada umumnya.
Dalam dokumen laporan CIA yang sudah dibuka ke publik, nama Sukendro dimasukkan dalam kelompok brain trust atau pemikir bersama-sama dengan Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, dan Mayjen S Parman. Tiga nama tersebut termasuk yang diculik dan dibunuh kelompok G30S di Lubang Buaya.
Dalam dokumen yang bertajuk The President's Daily Brief yang disampaikan kepada Presiden Amerika Lyndon B Johnson, disebutkan bahwa Sukendro satu-satunya anggota Brain Trust yang selamat dari pembunuhan.
Nama Sukendro ditulis berulang kali dalam laporan tersebut. Seperti ditulis Majalah Tempo edisi 15 Oktober 2015, nama Sukendro ditulis sebanyak 76 kali. Ia berperan besar dalam melakukan lobi tersembunyi ke Amerika Serikat untuk kepentingan Angkatan Darat. Dalam beberapa kali ditulis, Sukendro meminta bantuan peralatan komunikasi.
Untuk urusan intelijen dan lobi, Sukendro memang punya jam terbang yang cukup tinggi. Pada 1957, saat meletus pemberontakan PRRI dan Permesta, Sukendro atas perintah Nasution, menggelar operasi intelijen. Orang-orangnya masuk ke daerah dan berhasil meredam emosi para segelintir perwira yang tak puas dengan Presiden Soekarno.
Di saat yang lain, ketika menjadi kepala intelijen, Sukendro terlibat skandal penyelundupan di Tanjung Priok.
Dalam laporan intelijen CIA bertajuk The President's Daily Brief tersebut, Sukendro mengaku ragu apakah Angkatan Darat bisa menghabisi komunis yang mendapat sokongan dari Presiden Soekarno.
“Dia mengakui, pertanyaan besar apakah AD bisa memberantas Komunis dengan Soekarno yang merasa keberatan,” tulis CIA dalam laporan pada 15 Oktober 1965.
WILDA HASANAH