Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBANYAKAN pengikutnya percaya dia kebal. Karena dlam suatu
acara di rumahnya di Rawagagus, Karawang, Mei 1979, puluhan
hadirin menyaksikan dia menginjak-injak kaca dan paku-paku
besar tanpa alas kaki. Sedikit pun telapak kakinya tak tergores.
Karena itu sampai sekarang banyak pengikutnya tetap tak percaya
ia meninggal.
Itulah Haji Nurhasan Ubaidah, atau formalnya Haji Nurhasan
Al-Ubaidah Lubis Amir (Lubis bukan nama marga) imam kelompok
Islam Jama'ah. Tahun 1979, kumpulan ini jadi bahan pemberitaan
ramai dalam pers. Bentrokan timbul di banyak tempat, akibat
fanatisme para anggotanya yang 'mengkafirkan' para muslim selain
kelompok mereka, dan enggan bersentuhan walaupun dengan anggota
keluarga. Kelompok eksklusif ini berada dalam aturan yang ketat
di bawah hirarki agama, dengan berbagai infaq (pungutan) yang
begitu menguasai hidup jamaah. Berbagai tanggapan keluar dari
Jaksa Agung, Menteri Agama, pimpinan Golkar, Menteri Ali
Murtopo, Prof. Hamka (TEMPO, 15 September 1979).
Sabtu sore 13 Maret lalu, mobil Mercy Tiger B-84l8 EW meluncur
di jalan raya Tegal-Cirebon. Di jok belakang kanan duduk Haji
Nurhasan, sebelah kirinya istrinya, Nyonya Fatimah. Yang
menyetir Abdul Aziz, anak Nurhasan, dan di sebelahnya duduk
Yusuf, menantu. Dikabarkan mereka akan menghadiri kampanye
Golkar di Jakarta.
Sampai di Pelayangan (Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon),
kira-kira 20 km lagi sampai Kota Cirebon, sebuah truk Fuso
mencoba mendahului Mercy merah itu. Jam menunjukkan waktu
sekitar pukul tiga siang. Harinya: Sabtu.
Pasis saat itu pula dari arah berlawanan muncul truk lain.
Mengelakkan tubrukan dengan truk, Fuso membanting diri ke kiri.
Menyerempet Mercy. Dan Mercy merah itu pun terbang puluhan
meter, terjungkal masuk sawah.
Semua penumpang cedera. Yang paling parah lukanya Haji Abdul
Aziz. Dadanya remuk berlaga dengan kemudi, dan sampai sekarang
masih dirawat di RS Pertamina Cirebon. Yusuf agak lumayan: luka
di kaki dan tangan, tapi besoknya sudah keluar rumah sakit.
Sedang muka Nyonya Haji Fatimah luka-luka, terkena pecahan
kaca. Haji Nurhasan sendiri hanya luka-luka lecet di kaki. Tapi
sejak dibawa dari tempat kecelakaan ke Rumah Sakit Gunung Jati
(RSGJ) Cirebon, dia tak sadar. Dan selepas maghrib hari itu dia
menghembuskan napas terakhir.
Peristiwa itu sekarang jadi urusan Kepolisian Kores 852 Cirebon.
Danres 852 Cirebon, lewat telepon, membenarkan kepada TEMPO
tabrakan itu menyebabkan seorang penumpang mobil Mercy bernama
Haji Nurhasan Al-Ubaidah meninggal. Juga lewat telepon pihak RS
Gunung Jati membenarkan. "Sopir truk itu sekarang kita tahan,"
kata Danres Letkol. Drs. Oetojo Soetopo.
Keesokan harinya, mayat Nurhasan dibawa dengan ambulan RSGJ.
Diantar oleh dr. Subarno, bersama Mulyanto pegawai LLAJR
Cirebon dan sejumlah pengikut almarhum -- sampai ke rumah Pak
Haji di Rawagabus, Kelurahan Adiarsa, Kecamatan Karawang,
salah satu "komune" Islam Jama'ah yang tertutup.
Semula, menurut rencana, begitu sampai di Rawagabus mayat akan
segera dikuburkan. Eddy Suntoro, Lurah Adiarsa, malam itu sudah
dilapori ada penghuni desanya yang meninggal karena kecelakaan
mobil. "Belakangan baru saya tahu kalau yang meninggal itu pak
Haji Nurhasan," kata Eddy Suntoro kepada TEMPO di Karawang.
Malam itu mayat Nurhasan disemayamkan di ruangan tamu rumah
gedungnya di Rawagabus itu. "Menunggu kedatangan teman dekat
Imam dari Ke-diri dan Kertosono," tutur seorang pengikut.
Seperti diketahui, Kediri adalah pusat Islam Jamaah yang pertama
- Pondok Burengan, yang setelah ribut-ribut 1979 ditinggalkan
Nurhasan yang lebih banyak menetap di Kertosono (Kab.
Bojonegoro, Ja- Tim). Kertosono adalah pusat yang kedua -- dan
tempat kedudukan Imam. Dia hanya datang sekali ke Rawagabus.
Sementara itu malam itu juga di desa Bangi, Purwoasri Kediri,
rumah Abdul Fattah digedor orang. Pintu dibuka -- ternyata yang
menggedor rumah itu Haji Nurhasan. Haji Fattah adalah adik
kandung Imam itu. "Mungkin karena takut saya terkejut,"
katanya kepada TEMPO di Kediri, "ia bilang Nurhasan sakit
keras".Malam itu juga mereka berangkat ke Cirebon.
Haji Fattah memang terkejut. Baru dua bulan sebelumnya, "ia
datang ke rumah saya dengan . . . (seorang aktri Ibukota,
pengikutnya)."
Di Kertosono, tetangga Haji Nurhasan menuturkan kepada TEMPO,
hari itu para anggota keluarga berangkat berombongan. "Bahkan Al
Suntikah (istri Nurhasan yang lain) menangis". Tapi berita
musibah itu memang tidak disiarkan .
Dinihari esoknya baru orang-orang yang ditunggu dari Kediri dan
Kertosono datang. Di antaranya terdapat Pak Carik, dari
Kertosono, sekretaris Haji Nurhasan. Waktu itu juga jenazah imam
itu dikuburkan -- tepat pukul 3.00 dini hari, terhitung hari
Senin 15 Maret, dua hari setelah peristiwa. Makamnya persis di
belakang gedung Nurhasan sendiri di dusun itu -- ditandai dengan
satu patok di arah kepala dan batu di bagian kaki.
"Paling yang hadir malam itu hanya 100 orang," kata pengikut
yang tadi. Mereka, selain sanak-famili, adalah pengikutnya dari
Cirebon, Karawang dan sekitarnya, yang sempat tahu musibah itu.
Siangnya baru banyak orang dari Jakarta berkunjung. Di antara
orang-orang bermobil dari Jakarta itu, ada juga para pejabat dan
artis -- "seperti Benyamin, Ida Royani, Christine Hakim dan
Keenan Nasution," ujar haji ini, yang tidak disebut nama maupun
identitasnya karena ia tidak sadar sedang bicara dengan
wartawan. Keenan sendiri membantah telah datang ziarah (lihat
Pokok & Tokoh).
Jadi Nurhasan (lahir 1908 di Bangi, Kediri) sudah meninggal.
Toh ia sebenarnya sudah lama sekali tidak memimpin pondok secara
langsung. Setelah Islam Jamaah (waktu itu bernama Darul
Hadits/Jamaah Quran-Hadits/Yayasan Pondok Islam Jamaah)
dinyatakan dilarang Kejaksaan Agung pada 1971 organisasinya
diubah.
Pondok lalu berubah jadi yayasan, disebut Yakari, "di mana Imam
Haji Nurhasan Amir tidak lagi menjadi pmimpinnya (Amirnya)",
dikatakan oleh DPP Golkar dalam suratnya kepada para yang
berwewenang di Pusat (15 Juni 1975) antara lain Jaksa Agung.
Tapi sampai 1979 toh ekstrimitas masih sama. Amir Murtono
sendiri, seperti diceritakan KH Tohir Wijaya, Ketua Umum
MDI-Golkar, marah besar dan merasa "dikibuli" (TEMPO 22
September 1979). Agaknya Golkar lalu benar-benar melakukan
'penertiban'.
Betapapun, setelah 1979 suasana surut. Memang, para anggota IJ
sendiri belum kelihatan mau muncul di masjid-masjid umum. Namun
seperti dicatat wartawan TEMPO di Jawa Timur, aktivitas IJ
mengirimkan para muballigh ke berbagai daerah yang belum punya
cabang, kini sepi. Demikian pula sikap para amir (dengan pangkat
bertingkat-tingkat) yang begitu demonstratif, menjadi slow.
Toh orang berpikir tentang pengganti sang imam. Orang di
Karawang misalnya, yang dijejaki wartawan TEMPO, sekarang
menganggap tak ada lagi yang layak menjadi pemimpin kecuali
Letkol H. Zubaidi Umar -- setelah Drs. H. Nurhasyim, tangan
kanan dan 'perumus doktrinnya, juga meninggal beberapa tahun
lalu. Zubaidi kebetulan anak tiri Nurhasan -- anak bawaan
istrinya, Al Suntikah. Ia pula yang mengurus semua harta
kekayaan Jamaah di Karawang.
Tetapi tidak. Sebelum meninggal, Haji Nurhasan konon sempat
menyampaikan wasiat: penggantinya ialah Haji Zohir (40-an
tahun), anak sulungnya. Haji Zohir sendiri ketika itu masih di
Kertosono. Karena itu, "tak perlu lagi ada pemilihan Imam
baru," kata anggota penting jamaah yang tak disebut namanya
tadi.
Tugas imam baru siapapun dia, tentulah tidak ringan -- walau
katakanlah sebagai 'pemimpin spiritual' belaka. Di Jatim saja
imam punya empat pesantren. Di pemukiman Karawang punya 62 buah
huller, sebuah bengkel, 38 ha sawah dan 27 ha kebun. Di kompleks
pertama di Karawang, 'Sumber Barokah' di Desa Margakaya,
Kecamatan Telukjambe, ada 8 rumah besar dan kecil di tanah
seluas 5 ha. Sekelilinnya terhampar sekitar 30 ha sawah.
Di Rawagabus, kompleks terletak di tanah 5 ha. Ada 4 rumah
permanen dan 5 rumah biasa, dua mesin huller, sebuah bengkel
mobil dan garasi untuk 10 truk. Rumah gedung terbesar berada
paling depan: rumah Nurhasan. Tapi di atas pintu ada papan nama
bertuliskan 'Haji Zubaidi Umar SH'.
Santri Tak Mampu
"Pak Imam masih punya tanah ratusan ha di Lampung," kata sang
pengikut. Semua harta beliau yang tak sedikit itu, katanya
digunakan untuk membiayai pengikutnya. Di pesantrennya di Kediri
misalnya, lebih 500 santri tak mampu diberi kesempatan belajar
gratis. "Malah makan juga dibiayai pesantren."
Di kantor pusatnya di Kertosono, diparkir lebih sepuluh sedan
dan kolt. "Milik CV Syarikat," ujar seorang santri dengan celana
dilingkis ke atas. CV Syarikat adalah milik H. Nurhasan.
Nurhasan, setidaknya di luar kalangan IJ di Kertosono, memang
lebih dikenal sebagai 'Haji Baidah Orang Kaya'. Terutama sejak
ia kawin dengan Al Suntikah, janda yang memang kaya raya. Tapi
juga berkat zakat, kifarat (denda agama), hibah, sedekah dan
berbagai nama lain, yang dipungut dari para warga lewat para
amir yang hirarkis itu - yang jumlahnya bisa sangat besar,
apalagi dari anggota yang kaya.
Betapapun, di Desa Mojoduwur, tempat kelahiran Al Suntikah, di
Jombang kini terawat apik sekitar 70 hektar kebun cengkih atas
nama H. Ubaidah. Dan di Arab Saudi ia punya empat rumah yang
bukan sederhana -- di distrik-distrik Ja'fariyah, Uhud, Ma'la
dan Hajun.
Tapi menarik, meninggalnya sang imam sendiri seperti
dirahasiakan. Mungkin juga "agar tak mengganggu pemilu". Haji
Iskandar, wakil Amir di Pondok Kertosono yang kini bernama
'Khairul Huda', bahkan membantah. "Saya kira dia itu sudah lama
berangkat ke Mekah," katanya kepada TEMPO . Kalau begitu kapan
balik? "Saya kira tidak akan balik lagi. Rencananya dia akan
mati di Mekah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo