Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meninggalnya "imam" yang lain

Amir (imam) islam jama'ah, nurhasan ubaidah, meninggal. pengikutnya ribuan orang diberbagai kota. gerakan eksklusif yang pernah bikin berita. (ag)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBANYAKAN pengikutnya percaya dia kebal. Karena dlam suatu acara di rumahnya di Rawagagus, Karawang, Mei 1979, puluhan hadirin menyaksikan dia menginjak-injak kaca dan paku-paku besar tanpa alas kaki. Sedikit pun telapak kakinya tak tergores. Karena itu sampai sekarang banyak pengikutnya tetap tak percaya ia meninggal. Itulah Haji Nurhasan Ubaidah, atau formalnya Haji Nurhasan Al-Ubaidah Lubis Amir (Lubis bukan nama marga) imam kelompok Islam Jama'ah. Tahun 1979, kumpulan ini jadi bahan pemberitaan ramai dalam pers. Bentrokan timbul di banyak tempat, akibat fanatisme para anggotanya yang 'mengkafirkan' para muslim selain kelompok mereka, dan enggan bersentuhan walaupun dengan anggota keluarga. Kelompok eksklusif ini berada dalam aturan yang ketat di bawah hirarki agama, dengan berbagai infaq (pungutan) yang begitu menguasai hidup jamaah. Berbagai tanggapan keluar dari Jaksa Agung, Menteri Agama, pimpinan Golkar, Menteri Ali Murtopo, Prof. Hamka (TEMPO, 15 September 1979). Sabtu sore 13 Maret lalu, mobil Mercy Tiger B-84l8 EW meluncur di jalan raya Tegal-Cirebon. Di jok belakang kanan duduk Haji Nurhasan, sebelah kirinya istrinya, Nyonya Fatimah. Yang menyetir Abdul Aziz, anak Nurhasan, dan di sebelahnya duduk Yusuf, menantu. Dikabarkan mereka akan menghadiri kampanye Golkar di Jakarta. Sampai di Pelayangan (Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon), kira-kira 20 km lagi sampai Kota Cirebon, sebuah truk Fuso mencoba mendahului Mercy merah itu. Jam menunjukkan waktu sekitar pukul tiga siang. Harinya: Sabtu. Pasis saat itu pula dari arah berlawanan muncul truk lain. Mengelakkan tubrukan dengan truk, Fuso membanting diri ke kiri. Menyerempet Mercy. Dan Mercy merah itu pun terbang puluhan meter, terjungkal masuk sawah. Semua penumpang cedera. Yang paling parah lukanya Haji Abdul Aziz. Dadanya remuk berlaga dengan kemudi, dan sampai sekarang masih dirawat di RS Pertamina Cirebon. Yusuf agak lumayan: luka di kaki dan tangan, tapi besoknya sudah keluar rumah sakit. Sedang muka Nyonya Haji Fatimah luka-luka, terkena pecahan kaca. Haji Nurhasan sendiri hanya luka-luka lecet di kaki. Tapi sejak dibawa dari tempat kecelakaan ke Rumah Sakit Gunung Jati (RSGJ) Cirebon, dia tak sadar. Dan selepas maghrib hari itu dia menghembuskan napas terakhir. Peristiwa itu sekarang jadi urusan Kepolisian Kores 852 Cirebon. Danres 852 Cirebon, lewat telepon, membenarkan kepada TEMPO tabrakan itu menyebabkan seorang penumpang mobil Mercy bernama Haji Nurhasan Al-Ubaidah meninggal. Juga lewat telepon pihak RS Gunung Jati membenarkan. "Sopir truk itu sekarang kita tahan," kata Danres Letkol. Drs. Oetojo Soetopo. Keesokan harinya, mayat Nurhasan dibawa dengan ambulan RSGJ. Diantar oleh dr. Subarno, bersama Mulyanto pegawai LLAJR Cirebon dan sejumlah pengikut almarhum -- sampai ke rumah Pak Haji di Rawagabus, Kelurahan Adiarsa, Kecamatan Karawang, salah satu "komune" Islam Jama'ah yang tertutup. Semula, menurut rencana, begitu sampai di Rawagabus mayat akan segera dikuburkan. Eddy Suntoro, Lurah Adiarsa, malam itu sudah dilapori ada penghuni desanya yang meninggal karena kecelakaan mobil. "Belakangan baru saya tahu kalau yang meninggal itu pak Haji Nurhasan," kata Eddy Suntoro kepada TEMPO di Karawang. Malam itu mayat Nurhasan disemayamkan di ruangan tamu rumah gedungnya di Rawagabus itu. "Menunggu kedatangan teman dekat Imam dari Ke-diri dan Kertosono," tutur seorang pengikut. Seperti diketahui, Kediri adalah pusat Islam Jamaah yang pertama - Pondok Burengan, yang setelah ribut-ribut 1979 ditinggalkan Nurhasan yang lebih banyak menetap di Kertosono (Kab. Bojonegoro, Ja- Tim). Kertosono adalah pusat yang kedua -- dan tempat kedudukan Imam. Dia hanya datang sekali ke Rawagabus. Sementara itu malam itu juga di desa Bangi, Purwoasri Kediri, rumah Abdul Fattah digedor orang. Pintu dibuka -- ternyata yang menggedor rumah itu Haji Nurhasan. Haji Fattah adalah adik kandung Imam itu. "Mungkin karena takut saya terkejut," katanya kepada TEMPO di Kediri, "ia bilang Nurhasan sakit keras".Malam itu juga mereka berangkat ke Cirebon. Haji Fattah memang terkejut. Baru dua bulan sebelumnya, "ia datang ke rumah saya dengan . . . (seorang aktri Ibukota, pengikutnya)." Di Kertosono, tetangga Haji Nurhasan menuturkan kepada TEMPO, hari itu para anggota keluarga berangkat berombongan. "Bahkan Al Suntikah (istri Nurhasan yang lain) menangis". Tapi berita musibah itu memang tidak disiarkan . Dinihari esoknya baru orang-orang yang ditunggu dari Kediri dan Kertosono datang. Di antaranya terdapat Pak Carik, dari Kertosono, sekretaris Haji Nurhasan. Waktu itu juga jenazah imam itu dikuburkan -- tepat pukul 3.00 dini hari, terhitung hari Senin 15 Maret, dua hari setelah peristiwa. Makamnya persis di belakang gedung Nurhasan sendiri di dusun itu -- ditandai dengan satu patok di arah kepala dan batu di bagian kaki. "Paling yang hadir malam itu hanya 100 orang," kata pengikut yang tadi. Mereka, selain sanak-famili, adalah pengikutnya dari Cirebon, Karawang dan sekitarnya, yang sempat tahu musibah itu. Siangnya baru banyak orang dari Jakarta berkunjung. Di antara orang-orang bermobil dari Jakarta itu, ada juga para pejabat dan artis -- "seperti Benyamin, Ida Royani, Christine Hakim dan Keenan Nasution," ujar haji ini, yang tidak disebut nama maupun identitasnya karena ia tidak sadar sedang bicara dengan wartawan. Keenan sendiri membantah telah datang ziarah (lihat Pokok & Tokoh). Jadi Nurhasan (lahir 1908 di Bangi, Kediri) sudah meninggal. Toh ia sebenarnya sudah lama sekali tidak memimpin pondok secara langsung. Setelah Islam Jamaah (waktu itu bernama Darul Hadits/Jamaah Quran-Hadits/Yayasan Pondok Islam Jamaah) dinyatakan dilarang Kejaksaan Agung pada 1971 organisasinya diubah. Pondok lalu berubah jadi yayasan, disebut Yakari, "di mana Imam Haji Nurhasan Amir tidak lagi menjadi pmimpinnya (Amirnya)", dikatakan oleh DPP Golkar dalam suratnya kepada para yang berwewenang di Pusat (15 Juni 1975) antara lain Jaksa Agung. Tapi sampai 1979 toh ekstrimitas masih sama. Amir Murtono sendiri, seperti diceritakan KH Tohir Wijaya, Ketua Umum MDI-Golkar, marah besar dan merasa "dikibuli" (TEMPO 22 September 1979). Agaknya Golkar lalu benar-benar melakukan 'penertiban'. Betapapun, setelah 1979 suasana surut. Memang, para anggota IJ sendiri belum kelihatan mau muncul di masjid-masjid umum. Namun seperti dicatat wartawan TEMPO di Jawa Timur, aktivitas IJ mengirimkan para muballigh ke berbagai daerah yang belum punya cabang, kini sepi. Demikian pula sikap para amir (dengan pangkat bertingkat-tingkat) yang begitu demonstratif, menjadi slow. Toh orang berpikir tentang pengganti sang imam. Orang di Karawang misalnya, yang dijejaki wartawan TEMPO, sekarang menganggap tak ada lagi yang layak menjadi pemimpin kecuali Letkol H. Zubaidi Umar -- setelah Drs. H. Nurhasyim, tangan kanan dan 'perumus doktrinnya, juga meninggal beberapa tahun lalu. Zubaidi kebetulan anak tiri Nurhasan -- anak bawaan istrinya, Al Suntikah. Ia pula yang mengurus semua harta kekayaan Jamaah di Karawang. Tetapi tidak. Sebelum meninggal, Haji Nurhasan konon sempat menyampaikan wasiat: penggantinya ialah Haji Zohir (40-an tahun), anak sulungnya. Haji Zohir sendiri ketika itu masih di Kertosono. Karena itu, "tak perlu lagi ada pemilihan Imam baru," kata anggota penting jamaah yang tak disebut namanya tadi. Tugas imam baru siapapun dia, tentulah tidak ringan -- walau katakanlah sebagai 'pemimpin spiritual' belaka. Di Jatim saja imam punya empat pesantren. Di pemukiman Karawang punya 62 buah huller, sebuah bengkel, 38 ha sawah dan 27 ha kebun. Di kompleks pertama di Karawang, 'Sumber Barokah' di Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe, ada 8 rumah besar dan kecil di tanah seluas 5 ha. Sekelilinnya terhampar sekitar 30 ha sawah. Di Rawagabus, kompleks terletak di tanah 5 ha. Ada 4 rumah permanen dan 5 rumah biasa, dua mesin huller, sebuah bengkel mobil dan garasi untuk 10 truk. Rumah gedung terbesar berada paling depan: rumah Nurhasan. Tapi di atas pintu ada papan nama bertuliskan 'Haji Zubaidi Umar SH'. Santri Tak Mampu "Pak Imam masih punya tanah ratusan ha di Lampung," kata sang pengikut. Semua harta beliau yang tak sedikit itu, katanya digunakan untuk membiayai pengikutnya. Di pesantrennya di Kediri misalnya, lebih 500 santri tak mampu diberi kesempatan belajar gratis. "Malah makan juga dibiayai pesantren." Di kantor pusatnya di Kertosono, diparkir lebih sepuluh sedan dan kolt. "Milik CV Syarikat," ujar seorang santri dengan celana dilingkis ke atas. CV Syarikat adalah milik H. Nurhasan. Nurhasan, setidaknya di luar kalangan IJ di Kertosono, memang lebih dikenal sebagai 'Haji Baidah Orang Kaya'. Terutama sejak ia kawin dengan Al Suntikah, janda yang memang kaya raya. Tapi juga berkat zakat, kifarat (denda agama), hibah, sedekah dan berbagai nama lain, yang dipungut dari para warga lewat para amir yang hirarkis itu - yang jumlahnya bisa sangat besar, apalagi dari anggota yang kaya. Betapapun, di Desa Mojoduwur, tempat kelahiran Al Suntikah, di Jombang kini terawat apik sekitar 70 hektar kebun cengkih atas nama H. Ubaidah. Dan di Arab Saudi ia punya empat rumah yang bukan sederhana -- di distrik-distrik Ja'fariyah, Uhud, Ma'la dan Hajun. Tapi menarik, meninggalnya sang imam sendiri seperti dirahasiakan. Mungkin juga "agar tak mengganggu pemilu". Haji Iskandar, wakil Amir di Pondok Kertosono yang kini bernama 'Khairul Huda', bahkan membantah. "Saya kira dia itu sudah lama berangkat ke Mekah," katanya kepada TEMPO . Kalau begitu kapan balik? "Saya kira tidak akan balik lagi. Rencananya dia akan mati di Mekah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus