Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Pandangan Lengkap Edward Omar Sharif Hiariej di Sidang MK

Edward Omar Sharif Hiariej dalam keterangannya sebagai saksi ahli menyebut kubu Prabowo mempermasalahkan hal lain yang berada di luar kewenangan MK.

22 Juni 2019 | 14.56 WIB

Saksi Ahli, Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Heru Widodo (kedua kiri) saat mendengarkan pertanyaan dari Kuasa Hukum TKN Jokowi - Maaruf Amin selaku pihak terkait pada sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, 21 Juni 2019.  TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Saksi Ahli, Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Heru Widodo (kedua kiri) saat mendengarkan pertanyaan dari Kuasa Hukum TKN Jokowi - Maaruf Amin selaku pihak terkait pada sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat, 21 Juni 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM),  Edward Omar Sharif Hiariej, atau yang biasa disapa Eddy, menjadi saksi ahli yang diajukan oleh pasangan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin, dalam sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam persidangan kemarin, Eddy menyampaikan jika kuasa hukum pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno tampaknya tidak ingin menyasar tentang hasil rekapitulasi, melainkan mempermasalahkan hal lain yang berada di luar kewenangan MK.

Eddy kemudian menjelaskan dasar pandangannya dengan mengutip Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kewenangan MK hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, kubu Prabowo dalam gugatannya justru tidak mempersoalkan hal itu. “Tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi,” katanya seperti dikutip dari bahan materi yang Tempo terima, Sabtu, 22 Juni 2019.

Menurut Eddy, dengan menggunakan dalil yang kerap digunakan oleh kubu 02 bahwa MK bukan ‘Mahkamah Kalkulator’, secara tidak langsung, kata dia, pihak Prabowo mengakui jika tidak ada kesalahan dalam rekapitulasi hasil pemilihan presiden yang dilakukan KPU.

Eddy menjabarkan jika materi gugatan yang dilayangkan pihak Prabowo hanya menunjukkan pelanggaran Pemilu seperti penyalahgunaan APBN hingga masalah netralitas ASN. “Pada hakikatnya, pelanggaran Pemilu --berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017-- seharusnya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu,” tuturnya.

Selain itu, Eddy menilai pihak Prabowo tidak bisa menjadikan putusan MK tentang perselisihan Pilkada sebagai yurisprudensi dalam sengketa Pilpres. Hal itu hanya bisa dijadikan sumber penemuan hukum, kata dia, jika penggugat mampu menjelaskan hubungan antara perkara yang sedang ditangani dengan yurisprudensi tersebut. Eddy menilai perselisihan Pilkada tidak identik dengan Pilpres.

Eddy menuturkan dalam mengadili setiap perkara hakim bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya. Lagi pula masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri. “Judicandum est legibus non exemplis. Artinya, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh,” ucapnya.

Penulis buku "Teori Dan Hukum Pembuktian" ini juga menyoroti sikap kubu Prabowo yang mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra saat menjadi saksi ahli dalam sengketa Pilpres 2014. Menurut dia, keterangan itu tidak bisa dijadikan rujukan lantaran saat itu MK menolak gugatan untuk seluruhnya.

Sementara itu, terkait tudingan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, maka harus ada pembuktian yang menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan secara kolektif. Eddy meminta ada dua hal yang dibuktikan, yakni adanya pertemuan di antara pelaku dan adanya kerjasama yang nyata. “Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam Fundamentum Petendi,” tuturnya.

Adapun pada konteks kecurangan yang sistematis, menurut Eddy, beberapa hal harus dibuktikan seperti substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana. Namun ia menilai dalil yang diutarakan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga terkait dugaan sistematis ini hanya berdasarkan prasangka. “Sayangnya vermoedens atau persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Sedangkan pembuktian atas adanya kecurangan masif, kata Eddy, mensyaratkan dampak pelanggaran yang luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian. Menurut Eddy, harus ada hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dan dampaknya. Ia menilai kuasa hukum Prabowo-Sandiaga telah menunjukkan sejumlah peristiwa namun cenderung menggeneralisirnya. “Padahal, untuk mengetahui apakah berbagai pelanggaran tersebut mempunyai hubungan kausalitas dengan hasil Pilpres haruslah menggunakan teori individualisir,” ucapnya.

Eddy juga menyindir tim Prabowo karena menggunakan logika jungkir balik saat meminta beban pembuktian tidak dibebankan hanya kepada pemohon. Menurut Eddy, setiap mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum telah diajarkan asas actori in cumbit probatio. “Artinya, siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan,” kata Edward.

Dalam pandangannya, Edward Omar Sharif Hiariej juga meminta agar tim kuasa hukum Prabowo menghadirkan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai saksi. SBY, kata dia, nantinya bisa ditanya tentang pernyataannya yang menyebut ada ketidaknetralan yang dilakukan Badan Intelijen Negara, TNI, dan Polri.

 

Ahmad Faiz

Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Pernah ditempatkan di desk bisnis, politik, internasional, megapolitan, sekarang di hukum dan kriminalitas. Bagian The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2023

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus