Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Panglima Selera Istana

Presiden Joko Widodo memilih Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Mengabaikan desakan partai pendukung agar memakai sistem bergiliran.

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko menahan bicara kalau menyinggung soal penggantinya. Walau Presiden Joko Widodo sudah menunjuk Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal penerusnya, dia tetap memilih bungkam. "Jangan, nanti ada polemik," kata Moeldoko pada Rabu pekan lalu.

Polemik tentang siapa panglima baru sebenarnya sudah muncul awal bulan ini menyusul masa pensiun Moeldoko yang akan jatuh pada 1 Agustus nanti. Penunjukan Gatot, kini Kepala Staf TNI Angkatan Darat, yang diumumkan pada Selasa sore pekan lalu tak serta-merta membuat perdebatan di publik bakal menguap.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak sepenuhnya rela menerima keputusan ini. Ganjalan masih tersisa karena partai pemenang Pemilihan Umum 2014 dan pengusung Jokowi itu menjagokan calon pemenang di atas kertas, yakni Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna.

Tubagus Hasanuddin, politikus PDIP di Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, mengungkapkan bahwa penentuan panglima harus berdasarkan Undang-Undang TNI. Pasal 13 ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 itu menyebutkan jabatan panglima dapat diisi secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf angkatan.

Jika mengacu pada giliran, semestinya Agus Supriatna yang menjadi panglima karena sebelumnya Moeldoko dari Angkatan Darat menggantikan Laksamana Agus Suhartono dari Angkatan Laut. Sistem bergiliran ini diyakini memunculkan keadilan—berbeda dengan era Orde Baru, yang panglimanya selalu dijabat perwira Angkatan Darat. "Arahan Ibu Ketua Umum, keputusan bergiliran seperti yang diterapkan oleh Gus Dur, beliau, lalu Pak Yudhoyono sudah benar," ujar Hasanuddin.

Itu sebabnya partainya akan mengkritik pelaksanaan aturan dalam pembahasan persetujuan calon Panglima TNI di DPR, tapi tak akan mempersoalkan pribadi Gatot. "Tentu Presiden Jokowi sudah menghitung aspek politik dan risiko dari keputusannya."

Partai Golkar ikut menyorot Presiden Jokowi. Wakil Ketua Komisi Pertahanan dari partai runner-up Pemilu 2014 itu, Tantowi Yahya, meminta Jokowi menjelaskan kepada publik soal alasan tak menggunakan sistem rotasi.

Sinyal kuat bahwa Agus Supriatna bakal terpelanting dalam persaingan memperebutkan tongkat komando TNI sebenarnya sudah muncul langsung dari Presiden Jokowi pada Senin pekan lalu. "Pemilihan Panglima TNI adalah hak prerogatif saya," katanya ketika ditanya apakah Agus yang bakal dipilih. Dia memastikan seleksi sedang berlangsung dan hasilnya segera diumumkan.

Rupanya, keputusan final memilih Gatot ditentukan pada malam harinya. "Lalu Selasa sore surat dikirimkan ke DPR," ucap anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, Jumat pekan lalu.

Namun sejatinya "sosialisasi" sudah dimunculkan oleh Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto pada pekan sebelumnya. Dia mengatakan Agus belum tentu menjadi Panglima TNI. Giliran tiap angkatan untuk menjadi panglima, seperti yang sudah diterapkan sejak masa Presiden Abdurrahman Wahid, tak wajib dilakukan Presiden. Andi mengacu pada kata "dapat" dalam aturan tadi. "Tidak ada keharusan," ujar putra sulung mantan Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana Mayor Jenderal Purnawirawan Theo Syafei ini.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang menjabat KSAD di era Presiden Megawati Soekarnoputri, segendang sepenarian. "Itu semua tergantung Presiden," katanya.

Pro-kontra muncul sejak itu. Dua hari kemudian, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno ikut meramaikan dengan mengatakan panglima baru harus bisa mendukung program kemaritiman yang dicanangkan Presiden Jokowi. Pendapat Tedjo mudah diartikan berpihak ke Angkatan Laut. "Kalau KSAD dan KSAU punya visi dan misi kemaritiman, ya, bisa saja," ujarnya. "Tak harus KSAL."

Menurut seorang pejabat di lingkungan Istana, Jokowi memutuskan berdasarkan pemahamannya sendiri. "Beda dengan kemauan PDIP," katanya Rabu pekan lalu. Besar kemungkinan Angkatan Udara akan mendapat pos Wakil Panglima TNI setelah pos itu sudah final dibahas. "Tapi juga bukan Agus."

Pejabat tadi mengatakan Gatot dipilih karena sama-sama lulusan Akabri angkatan 1982 dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti. "Supaya tak ada ganjalan psikologis dalam menjalankan tugas." Sedangkan KSAU Agus dan KSAL Laksamana Ade Supandi angkatan 1983, seangkatan dengan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Pertimbangan lain, Angkatan Darat memiliki personel terbanyak dan punya struktur teritorial sampai tingkat desa. Organisasi semacam itu tak dimiliki Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Andi mengakui tim Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet memberikan masukan kepada Presiden mengenai mekanisme pemilihan sesuai dengan Undang-Undang TNI. "Bahwa pencalonan panglima, termasuk penggunaan ketentuan rotasi antar-angkatan, merupakan hak prerogatif presiden," katanya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno lalu menyiapkan tiga alternatif surat pencalonan, masing-masing atas nama Agus, Gatot, dan Ade Supandi, untuk dipilih Presiden.

Teten tak menjawab ketika ditanya apakah Agus gagal menjadi panglima karena pertimbangan politik, seperti kedekatannya dengan PDIP dan Budi Gunawan. "Saya enggak pernah dengar ada pertimbangan politis."

Yang pasti, menurut Teten, Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI memilih panglima yang dinilai mampu mengayomi semua angkatan atau matra demi pengembangan organisasi TNI serta pelaksanaan Nawacita. Keinginan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia juga membutuhkan kerja sama dan sinergi semua angkatan. "Presiden melihat Pak Gatot mampu mengayomi semua angkatan di TNI." Jobpie Sugiharto, Tika Primandari (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)


Posisi untuk Kawan Koalisi

BATUK hebat menyerang Sutiyoso, Rabu siang pekan lalu. Wajah Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) itu sampai merah padam. Air matanya menggenang dan napasnya tersengal. Perbincangan dengan sejumlah wartawan di ruang kerjanya, kantor pusat PKPI, Jalan Diponegoro 63, Jakarta Pusat, sempat dua kali terhenti.

"Serangan" mendadak ini hanya beberapa menit setelah dia meyakinkan bahwa usia 71 tahun pada Desember mendatang tidak akan mengganggu tugasnya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara. "Aku masih seperti 50 tahun. Kelihatan macho," kata Sutiyoso.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana pada Senin pekan lalu sekitar pukul 14.30. Dalam pembicaraan selama sekitar 30 menit itu, Jokowi menyatakan ada banyak calon Kepala BIN. "Tapi Bang Yos pilihan saya," ujar Sutiyoso menirukan Jokowi.

Sehari kemudian, Istana mengirimkan surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna meminta persetujuan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Sutiyoso menggantikan Marciano Norman, yang telah menjabat sejak 2010. Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sutiyoso dipilih karena memiliki pengalaman intelijen yang mumpuni.

Sutiyoso mengatakan, dari total 30 tahun berdinas di militer, 23 tahun di antaranya ia lebih banyak menggeluti intelijen di Grup Sandi Yudha Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat.

Namun penunjukan Sutiyoso membikin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno kaget. Dia merasa Presiden tak pernah berdiskusi dengannya atau menteri terkait. "Mungkin ada pertimbangan lain mengapa Presiden memilih secara dadakan."

Sutiyoso memang bukan calon unggulan dalam bursa yang didominasi pensiunan jenderal tentara. Calon lain di antaranya As'ad Said Ali, Ian Santosa Perdanakusuma, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Fachrul Razi.

Yang moncer justru dari sipil, yakni As'ad. Wakil Ketua Umum Nahdlatul Ulama dan mantan Wakil Kepala BIN ini didorong oleh bekas bosnya di BIN, A.M. Hendropriyono. Ketua Umum NU Said Aqil Siroj, penyokong Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2014, ikut mendukung.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pemenang Pemilihan Umum 2014 dan pengusung utama Jokowi-Jusuf Kalla, tak menyokong Sutiyoso. "Kami ingin profesional, bukan orang partai," kata politikus PDIP di DPR, Tubagus Hasanuddin. Sekretaris Militer pada era Presiden Megawati Soekarnoputri ini menampik jika partainya disebut condong ke As'ad atau mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Ian Santosa.

PDIP juga menilai Sutiyoso terlalu tua dan terlibat dalam penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia—kini PDIP—di Jalan Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996, yang menewaskan lima orang. Kala itu Sutiyoso Panglima Komando Daerah Militer Jaya dan Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Kepala Staf Kodam Jaya.

Namun, pada 2002, PDIP justru mencalonkan kembali Sutiyoso untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode kedua hingga 2007. Hasil Pemilihan Umum 2004, secara nasional PDIP berada di urutan kedua setelah Partai Golkar. Sedangkan suara Jakarta diborong Partai Keadilan Sejahtera.

Seorang petinggi partai penyokong pemerintah mengatakan, sejak Februari lalu, Jokowi siap memilih Sutiyoso asalkan mendapatkan restu dari Megawati. Sutiyoso lantas diminta mendekati Mega. "Pertimbangannya hanya Sutiyoso yang belum mendapat jatah posisi. Partai-partai lain sudah," ujarnya.

Sutiyoso menyangkal meminta restu Mega. Sebagai sesama ketua umum partai penyokong pemerintah, dia yakin Mega mendukung penuh dirinya meski tak pernah eksplisit menyatakan itu. Sutiyoso juga berkeras posisi Kepala BIN diperoleh karena kompetensi, bukan hadiah sebagai partai pendukung pemerintah. "Kalaupun tak dipilih, saya tetap mendukung Jokowi," katanya.

Jobpie Sugiharto, Reza Aditya, Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus