Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Penghilangan Orang Pasca 30 September 1965, John Roosa: Sejarah Kelam Belum Usai

Penulis buku Dalih Pembunuhan Massal, John Roosa, berpendapat Indonesia memiliki sejarah kelam yang belum usai setelah 30 September 1965.

29 September 2020 | 17.37 WIB

Tentara menggiring orang-orang yang diduga PKI [Perpusatkaan Nasional RI via Tribunal1965]
Perbesar
Tentara menggiring orang-orang yang diduga PKI [Perpusatkaan Nasional RI via Tribunal1965]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta-Sejarawan dan penulis buku Dalih Pembunuhan Massal, John Roosa, berpendapat Indonesia memiliki sejarah kelam yang belum usai, yakni tentang penghilangan orang secara massal pasca-tragedi 30 September 1965. Menurutnya, yang bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah kembali membangun rasa kemanusiaan.

"Saya kira kita harus membangun rasa kemanusiaan lagi. Kita bisa mulai dengan upaya untuk membantu upaya keluarga yang mau cari jenazah atau mayat keluarga mereka yang hilang saat itu," ujar John saat diskusi daring bertajuk "1965: Sejarah yang Dikubur", Selasa, 29 September 2020.

John berujar, setelah peristiwa berdarah 30 September 1965, banyak orang hilang hingga 1968. Kebanyakan mereka mendapat cap dan atau distigma terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). John menuliskan kajiannya tentang peristiwa ini dalam bukunya berjudul Buried Histories yang baru terbit.

Ia mengatakan kasus penghilangan orang ini sangat sulit dilacak dan diketahui persis kejadiannya. Selain banyaknya korban atau keluarga yang telah meninggal, masih banyak orang yang takut bicara. "Sehingga saya pikir penting sekarang untuk menggali kuburan massal untuk mencari keluarganya. Saya kira itu salah satu upaya yang bisa membentuk masyarakat lain, masyarakat Indonesia yang baru. Di mana harkat manusia itu lebih tinggi," kata John.

Pembunuhan massal yang terjadi saat itu, kata dia, merupakan kejahatan yang sangat tak normal, bahkan di saat-saat masa konflik. Sebab para korban yang dibunuh merupakan tahanan yang sudah tak berdaya dan tak dapat melawan. Pembunuhan massal bahkan tak terjadi hanya di satu daerah saja.

Dari temuan John, penghilangan orang ini menjadi pola umum yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara,  Bandar Lampung,  Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Bali, Lombok, dan Flores. "Sehingga kita harus mengakui banyak pembunuhan terjadi dengan cara yang keji sekali untuk menghilangkan orang. Supaya keluargnya tak tahu," kata John.

Propaganda tentara di saat itu, menurut John, banyak mempengaruhi masyarakat untuk memberi stigma pada masyarakat yang dianggap anggota PKI atau simpatisan PKI. "Saat itu semua pers di bawah kontrol tentara dan tak ada cerita lain yang bisa keluar. Bahkan Bung Karno sendiri punya perspektif lain. Tapi perspektif dia sudah difilter oleh pers yang di bawah tangannya tentara," kata John.

Meski banyak didorong oleh stigma yang sengaja dibentuk, John mengatakan tindak kejahatan yang dilakukan di tengah masyarakat akan berpengaruh pada faktor lain. Biasanya, faktor pemantik adalah konflik-konflik antar-masyarakat yang sejak lama sudah ada. "Tiap daerah punya pola yang berbeda. Sehingga kalau kita bicara pembunuhan massal, kita harus punya perspektif sejarah lokal," kata John.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus