Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Hukum Nasional calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar alias THN AMIN angkat bicara soal waktu penyelesaian sengketa Pemilihan Presiden atau sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi atau MK yang dibatasi selama 14 hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Memang kita akui waktunya terlampau pendek," kata Ketua THN AMIN, Ari Yusuf Amir, saat dihubungi Tempo pada Senin, 11 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, pihaknya tetap akan berupaya. THN AMIN akan membuktikan ada kecurangan dalam Pemilu kali ini dengan batas waktu yang terbilang singkat.
"Oleh karena itu, kami sudah melakukan persiapan semuanya, sebelum kami ajukan," kata Ari Yusuf. "Jadi, kami sudah siap sebelum bertanding."
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini sebelumnya menyebut waktu 14 hari tidak ideal untuk menyelesaikan permohonan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Padahal, daerah pemiliham Pilpres mencakup nasional dan luar negeri.
"Dari situ saja adalah kebijakan hukum yang tidak logis," kata Titi saat ditemui di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 8 Maret 2024.
Titi pun membandingkan penanganan sengketa Pemilihan Legislatif dengan Pemilihan Presiden. "Nah kalau idealnya, menurut saya, ketika pemilu legislatif 30 hari, harusnya Pemilu Presiden minimal juga 30 hari karena itu adalah Pemilu yang setara," ujarnya..
Bahkan, kata Titi, penanganan sengketa Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 45 hari. Ini berlaku untuk Pilkada kabupaten, kota, maupun provinsi.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan Mahkamah Konstitusi akan berupaya menyelesaikan permohonan PHPU untuk Pemilihan Presiden dalam waktu 14 hari. Dia pun mengaku optimistis soal ini. "Enggak, kami tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan," kata Suhartoyo di Bogor, Rabu malam, 6 Maret 2024.
Adapun instrumen acaranya, menurut Suhartoyo, berada di luar kemampuan Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, pada Pilpres 2019 pihaknya hanya bisa mendengarkan 15 saksi.