Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN perempuan berjilbab membanjiri markas Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis siang dua pekan lalu. Para pria yang hadir rata-rata berpeci hitam. Dari pengeras suara terdengar alunan salawat Nabi, disusul suara qariah membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Begitulah suasana hajatan besar Partai Banteng mendeklarasikan organisasi sayap politik mereka: Baitul Muslimin Indonesia. Bamusi—demikian nama perkumpulan ini disingkat—digadang-gadang bisa mendongkrak citra PDIP di hati jutaan pemilih muslim di negeri ini.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, duduk di kursi utama di depan panggung. Mengapit Mega di kanan-kiri, tampaklah Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, dan Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi. Ke kiri lagi, duduk Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP, yang juga suami Megawati.
Din Syamsuddin dan Taufik merupakan dua aktor kunci pembentukan Baitul Muslimin. Mayor Jenderal (Purn.) Cholid Ghozali, mantan Ketua Partai Bintang Reformasi, yang mendekatkan kedua tokoh itu, pertengahan tahun kemarin. ”Saya memang kawan lama Din,” kata Cholid, akhir pekan lalu.
Semua berawal dari acara buka puasa dan tarawih bersama di kediaman pri-badi Megawati di Kebagusan, Jakarta Selatan, pada hari kedua Ramadan, September 2006. Din didaulat menjadi khatib pada salat malam itu. Seusai acara, Taufik, Din, Cholid, dan Sekjen PDIP, Pramono Anung, berdiskusi panjang soal kebutuhan mencairkan ketegangan kubu nasionalis dan Islam. Terbitlah ide pembentukan Bamusi. ”Kami berharap organisasi ini bisa jadi rumah untuk muslim di partai ini,” kata Cholid.
Di balik ide besar itu tentulah terselip niat politik. Pada Pemilihan Umum 2004, perolehan suara PDIP menukik tajam dari 33 persen dari total suara pemilih pada Pemilu 1999 menjadi hanya 18,6 persen. ”Salah satunya karena PDIP dicitrakan sebagai partai sekuler yang tidak punya moral politik,” kata Zainun Ahmadi, anggota tim formatur pembentukan Baitul Muslimin, yang juga Ketua Departemen Agama dan Kerohanian PDIP.
Setelah pertemuan pertama di Kebagusan itu, Megawati membentuk tim khusus persiapan pembentukan Bamusi. Tugas pertamanya berkeliling meminta dukungan ke sejumlah organisasi Islam. Ada empat organisasi besar yang dibidik: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam, dan Dewan Dakwah Islamiyah. Selain Dewan Dakwah, semua merespons surat PDIP.
Safari politik pun dimulai. Pada November 2006, Taufik Kiemas memimpin delegasi PDIP berkunjung ke rumah Din Syamsuddin di kompleks Pejaten Elok, Jakarta Selatan. Tak dinyana, di sana sudah menunggu belasan organisasi massa Islam lain, dari Majelis Ulama Indonesia sampai Hizbut Tahrir. ”Yang mengejutkan, mereka menyambut positif,” kata Zainun, yang hadir dalam pertemuan itu.
Perjalanan berlanjut ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Desember 2006. Di sana mereka disambut KH Hasyim Muzadi. Kepada Taufik, Hasyim mempersilakan kader-kader muda NU direkrut menjadi pengurus Baitul Muslimin. Sekitar 75 persen pengurus Bamusi dari tingkat kecamatan sampai provinsi memang akan diisi orang luar PDIP.
Terakhir, rombongan Taufik Kiemas sowan ke rumah sesepuh Korps Alumni HMI, Akbar Tandjung, yang didampingi Ketua Presidium Nasional KAHMI, Asri Harahap. Reaksi Akbar juga positif.
Walau begitu, bukan berarti jalan sudah mulus. Sejumlah fungsionaris partai itu dikabarkan sempat keberatan jika PDIP mendirikan sayap organisasi Islam.
Menilik sejarah pembentukan PDIP yang berawal dari politik fusi Orde Baru, keberatan itu masuk akal. PDI memang didirikan dua blok partai: kubu nasionalis dan kubu Kristen plus Katolik. Kubu nasionalis berasal dari Partai Nasional Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Kubu agama berasal dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. ”Ada yang khawatir,” kata seorang pengurus PDIP yang menolak disebut namanya. ”Daripada membentuk organisasi sayap, dianggap lebih baik merekrut tokoh Islam masuk partai.”
Gonjang-ganjing ini dibantah oleh Ketua Fraksi PDIP di DPR RI, Panda Nababan. ”Baitul Muslimin adalah bagian dari perjuangan kebangsaan PDIP,” katanya. Ketua Umum Baitul Muslimin, Hamka Haq, juga menepis kabar itu. Dia menunjuk aktifnya sesepuh PDIP, Sabam Sirait, dalam proses pembentukan Bamusi sebagai bukti solidnya dukungan partai. Sabam adalah penanda tangan fusi dari unsur Parkindo.
Satu soal selesai, muncul perkara lain. Tarik-ulur sempat alot ketika harus memutuskan siapa pucuk pimpinan lembaga baru ini. Sampai Februari lalu, nama Farid Prawiranegara, pendiri Partai Bulan Bintang yang juga putra tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, masih santer disebut-sebut. Kalau jadi, ini kombinasi menarik. Ayahanda Megawati, Soekarno, pada 1960 membubarkan Masyumi. ”Ini bisa jadi simbol rekonsiliasi politik,” kata seorang fungsionaris PDIP.
Toh, pada deklarasi dua pekan lalu, nama Hamka Haq, salah satu Ketua DPP PDIP Bidang Agama dan Kerohanian, yang muncul sebagai Ketua Umum Bamusi. Ada apa dengan Farid? ”Pak Farid tetap kami harapkan bisa terlibat di Dewan Penasihat,” kata Hamka. Semua posisi strategis pada kepengurusan perdana, katanya, memang dipegang kalangan internal. Alasannya? Dia menunjuk pengalaman PNI pada 1960-an ketika mendirikan organisasi sayap Islam, Djamiatul Muslimin Indonesia. ”Djamiatul saat itu diisi orang-orang yang tidak mengenal watak partai,” katanya. ”Kami tidak ingin ada pengkotak-kotakan atas nama agama di sini.”
Pada tahun-tahun panas menjelang 1965 itu, PNI memang sempat pecah akibat perbedaan pandangan mengenai Partai Komunis Indonesia. Ketua Umum PNI saat itu, Ali Sastroamidjojo, lebih dekat dengan Soekarno yang akomodatif terhadap PKI. Sementara Osa Maliki, pentolan PNI yang juga Ketua Umum Djamiatul Muslimin, menolak. Penolakan itu berujung pada pemecatan Osa. Ketika angin politik berbalik arah setelah Gerakan 30 September, giliran Osa yang terpilih menjadi Ketua Umum PNI lewat Kongres Luar Biasa di Bandung, Jawa Barat, April 1966.
Kepada Tempo, Hamka berkali-kali menyebut kebutuhan PDIP menciptakan kader partai yang nasionalis religius. Hamka adalah guru besar di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar. Dia juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan periode 2000–2005. Ketika menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin pada 1999, Hamka merilis kebijakan kontroversial: membuka kesempatan mahasiswa nonmuslim belajar agama Islam di kampus itu.
Dia lalu bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Theologia Makassar. ”Daripada mahasiswa Kristen belajar Islam di luar negeri, ya lebih baik belajar di sini,” katanya. Ide-ide macam itu berakar dari latar belakang keluarganya. Ayahnya dari Nahdlatul Ulama, dan ibunya anggota Sarekat Islam. ”Saya sendiri bersekolah di Muhammadiyah,” kata Hamka.
Wahyu Dhyatmika, Eko Ari Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo