Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMPAKNYA memang sudah hampir pasti K.G.P.H. Mangkubumi yang bakal terpilih sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono X. Putra Sri Sultan dari istri pertama, K.R.Ay. Pintoka Poernomo, yaitu G.B.P.H. Hadikusumo, sudah menyatakan bahwa pengganti ayahanda adalah K.G.P.H. Mangkubumi. Itu pesan Sri Sultan yang diterimanya 5 September lalu di Jakarta, disaksikan oleh K.R.An Nindyokirono. Sementara itu, putra tertua Sri Sultan yang lain dari istri ketiga, K.R.Ay. Hastoengkoro, dan putra tertua lainnya dari istri keempat, K.R.Ay. Tjiptomoerti, masing-masing G.B.P.H. Prabukusumo dan G.B.P.H. Pakuningrat, sudah menegaskan tidak berminat menduduki takhta Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Tapi Mangkubumi sendiri, sampai Senin pekan ini, tidak bersedia memberi komentar atas pernyataan ketiga adiknya itu. "Saya tidak bisa mengomentari diri saya sendiri, itu tidak etis," katanya. "Tapi kalau pandangan adik-adik saya seperti itu, ya syukurlah. Saya berterima kasih," tambahnya. Berkali-kali Mangkubumi memang enggan memberi komentar mengenai kemungkinan dirinya terpilih sebagai Hamengku Buwono X. "Itu tidak etis, itu bisa dinilai nggege mongso. Soal itu semuanya terserah kepada hasil musyawarah kerabat Keraton," begitu selalu katanya. Nggege mongso artinya mengambil keuntungan mumpung ada kesempatan. Beberapa wartawan TEMPO selama beberapa pekan terakhir ini sempat berkali-kali menemui calon Hamengku Buwono X itu. Berikut ini nukilan wawancaranya: Mengenai siapa kelak yang akan menjadi Hamengku Buwono X pertama-tama harus dilihat dulu apakah ada wasiat dari Bapak atau tidak. Tapi sampai sekarang saya sendiri belum tahu ada wasiat atau tidak. Bila tidak ada wasiat, keputusan mengenai pewaris takhta itu dibicarakan dalam musyawarah kerabat Keraton. Musyawarah kerabat Keraton itu baru akan diselenggarakan bila semua peninggalan Sri Sultan sudah terkumpul. Jadi, yang dibicarakan adalah peninggalan Sri Sultan, dan tidak semata-mata masalah suksesi di Keraton Yogyakarta saja. Musyawarah itu tetap perlu, sebab keputusannya akan merupakan dasar yang lebih akurat. Kalau musyawarah itu sudah memutuskan pengganti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka pengganti itu harus bertanggung jawab atas misi yang dibebankan kepadanya. Sebelum naik takhta, seorang calon raja diangkat dulu menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Yang mengangkat adalah lembaga, ya, Keraton Yogyakarta sendiri. Begitu pula yang menobatkan raja adalah lembaga itu. Di masa lalu, Gubernur Jenderal Belanda hanya menyaksikan saja. Dan sampai saat ini tidak ada campur tangan dari pemerintah. Tidak ada reaksi apa-apa dari pemerintah. Berarti pemerintah memahami bahwa soal ini bukanlah urusan pemerintah. Baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, pemerintah tidak bertanya siapa kelak yang akan menjadi Sultan. Tentang gelar Hamengku Buwono X, itu bukan masalah yang terlalu penting. Semuanya kami kembalikan kepada musyawarah kerabat Keraton. Sebutan itu 'kan hanya ibarat kulit saja. Yang penting 'kan isinya. Kalau saya misalnya memakai gelar Hamengku Buwono X tapi masyarakat sudah tidak menghargai lagi, ya, buat apa? Tapi saya tidak berani memastikan apakah pengganti Bapak nanti memakai gelar Hamengku Buwono X atau tidak. Itu bukan wewenang saya, itu wewenang musyawarah kerabat Keraton. Kalau misalnya nanti saya terpilih, saya akan tetap melaksanakan tradisi yang sampai sekarang masih berlangsung seperti sekaten labuhan, dan siraman. Tradisi itu akan tetap dipertahankan sesuai dengan kesepakatan di antara kerabat Keraton. Saya tidak akan melakukan perombakan-perombakan. Tapi untuk 10-15 tahun mendatang, apakah jamannya masih seperti sekarang atau sudah berubah, perlu pemikiran ke arah itu. Artinya, apakah kelak masyarakat masih menerima tradisi itu atau bahkan menganggapnya sebagai tahyul, ini yang kelak akan menjadi problem. Mengenai upacara tradisional seperti itu memang perlu dipikirkan baik-baik, sebab bagaimanapun Keraton harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan zaman. Jangan sampai kelak upacara itu menjadi beban berat bagi Keraton. Segala sesuatu memang harus dilihat dari segi kepentingannya. Kalau kerabat Keraton memutuskan upacara seperti itu harus tetap dilestarikan, harus dipikirkan efisiensinya, tanpa menghilangkan hakikat upacara tersebut. Pelaksanaannya disederhanakan, disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kemampuan Keraton, tapi makna dan hakikatnya tetap dipertahankan. Kalau di Bali, upacara yang berkaitan erat dengan agama bisa disederhanakan, kenapa di Yogya upacara yang hanya terkait dengan adat tidak ? Mengenai tempat tinggal, bila kelak misalnya saya terpilih, tidak ada masalah. Tinggal di Keraton atau di luar, sama saja. Saya tetap bisa melakukan pekerjaan saya. Begitu pula istri saya, meskipun misalnya nanti harus tinggal di keputren, ia masih bisa melakukan kegiatannya seperti PKK dan sebagainya. Zamannya sekarang ini 'kan sudah berubah. Hubungan antara saya dan semua adik saya juga tidak ada masalah. Kami terus melakukan konsolidasi, lebih-lebih setelah Bapak wafat. Sejak dulu semua putra dan saudara-saudara Bapak selalu dituntut bersikap demikian. Rukun dan kompak. Karena itu, semua yang saya katakan ini harus terlepas dari subyektivitas saya. Sebab, saya khawatir nanti akan menimbulkan perbedaan pandangan hingga muncul konflik di antara kita. Itu yang harus saya jaga, sebab saya mengharapkan potensi di dalam Keraton tetap dapat terkonsolidasi dengan baik. BSH, I Made Suarjana, Heddy Lugito, Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo