Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Sejarah Mataram Islam Terputus Jika Perempuan Jadi Sultan  

Penghapusan gelar Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.

6 Mei 2015 | 15.18 WIB

Sejumlah Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 29 Juli 2014. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Perbesar
Sejumlah Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di halaman Masjid Gede Kauman, Yogyakarta, 29 Juli 2014. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Langkah Sri Sultan Hamengku Buwono X menghilangkan sebutan "Khalifatullah" untuk Raja Keraton Yogyakarta (Mataram) akan mengubah prinsip kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 itu. Kata tersebut sudah dicabut dalam Sabdaraja atau perintah raja yang dibacakan di Siti Hinggil Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 30 April 2015.

Gelar Khalifatullah tercantum dalam sebutan Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar dalam bahasa Jawa ini menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono sekarang merupakan raja yang kesepuluh pewaris Kerajaan Mataram Islam. 

Menurut Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman Kiai Abdul Muhaimin, keputusan Sri Sultan itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. Lebih jauh dari itu, Sabdaraja bakal memutus rantai sejarah Keraton Mataram Islam. Sebab gelar tersebut merupakan konsep kepemimpinan politik dan spiritual yang menjadi warisan sejarah panjang Kerajaan Mataram. 

Dalam gelar Khalifatullah, kata dia, terkandung prinsip kesatuan antara nilai budaya Jawa dan Islam yang dianut rakyat. "Kepemimpinan negara menyatu dengan kepemimpinan agama, makanya Sultan layak disebut Khalifatullah," kata Muhaimin, menanggapi kebijakan Sri Sultan.

Perubahan gelar itu telah diimplementasikan oleh Sultan dengan memberi sebutan kepada putri sulungnya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan itu dinobatkan sebagai putri mahkota sekaligus calon pengganti Sultan. Gelarnya lengkapnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Muhaimin, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, berpendapat, dengan penghapusan gelar Khalifatullah, nilai konsep kepemimpinan Keraton tereduksi. Selain memutus riwayat Keraton Mataram Islam, kata dia, keputusan itu menurunkan derajat kewibawaan kepemimpinan Raja Yogyakarta. “Sabdaraja ini justru akan mengkerdilkan kedudukan Raja di mata masyarakat,” kata Muhaimin.

Ihwal pandangan bahwa perubahan itu merupakan hak prerogratif dan cara Sri Sultan untuk mengangkat perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta, Muhaimin tidak sepakat. Mengorbitkan sultan perempuan, kata Muhaimin, tidak sesuai dengan simbol pemimpin di Keraton Yogyakarta yang merujuk pada figur laki-laki.

Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Kiai Asyhari Abta menganggap penggantian gelar ini merupakan wewenang Sultan Hamengku Buwono X. Meski begitu, menurut Asyhari, penghapusan gelar Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. "Identitas kerajaan Islam di Keraton Yogyakarta semakin luntur," kata Asyhari sembari menambahkan, “Itu hak Sultan, kita tidak berhak ikut mengurusi. Meski kurang enak mendengarnya." 

Guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, menganggap munculnya Sabdaraja menjadi penanda penting perubahan Keraton Yogyakarta. Penghapusan gelar Khalifatullah melenyapkan separuh derajat keistimewaan Yogyakarta. "Masyarakat harus siap melihat Keraton sudah berubah," kata Heddy.

Sabdaraja, Heddy melanjutkan, berkaitan dengan isu suksesi di Keraton Yogyakarta yang selama ini diriuhkan dengan perdebatan keabsahan sultan perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari pertentangan antara nilai sistem politik modern dan tradisional yang mengiringi Keraton Yogyakarta sejak era kemerdekaan Indonesia. "Dalam sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau tradisional, sultan harus laki-laki," katanya.


 


ADDI MAWAHIBUN IDHOM


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Elik Susanto

Elik Susanto

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus