Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekelompok masyarakat yang menamakan diri Majelis Permufakatan Rakyat Yogyakarta mengumumkan maklumat bertajuk Selamatkan Dinasti Hamengku Buwono. Maklumat itu muncul kurang dari 24 jam setelah pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam X sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DIY periode 2017-2022 pada Selasa 10 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Maklumat itu diserahkan kepada perwakilan trah Sultan HB IX, yang juga adik tiri Sri Sultan HB X, Gusti Bendoro Pangeran Hario Cakraningrat di Ndalem Yudhanegaran Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Maklumat itu memuat dua poin yakni menyelematkan dinasti Sultan Hamengku Buwono sebagai pemangku Adat Budaya Tata Kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Poin kedua mendesak para ahli waris Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengumumkan paugeran (patokan adat) Kasultanan Yogyakarta dan segera mengangkat dan menetapkan Lurah Pangeran Kanjeng Gusti Pangeran Hadiwinoto sebagai Sultan Hamengku Buwono XI.
“Kami membuat maklumat itu sebagai wujud keprihatinan, sebenarnya siapa sih yang akan menjadi penerus Hamengku Buwono ini nanti setelah HB X,” ujar Kyai Haji Abdul Muhaimin selaku Ketua Majelis Permufakatan Rakyat Yogyakarta.
Muhaimin yang merupakan tokoh Kerisjati-sebuah wadah perjuangan Undang-Undang Keistimewaan- mengatakan aksi penyerahan maklumat ini dinilai mendesak karena polemik internal keraton terkait raja perempuan makin tak jelas juntrungannya.
Oleh sebab itu, kelompok itu mendesak agar para putra-putri Sultan HB IX yang masih hidup segera mengundangkan paugeran Keraton agar segera muncul suatu representasi keraton yang lebih kuat integritas adat dan terlegitimasi.
Muhaimin menuturkan polemik pengangkatan raja perempuan jika terbukti akan menjadi sejarah yang sangat aneh dalam dinasti Keraton Yogya sebagai Kerajaan Islam.
Sebab sejarah maskulinitas keraton bisa dilacak secara genetik maupun mitologis. Misalnya secara mitologis masyarakat percaya bahwa jika Sultan bertahta adalah suami dari Nyi Roro Kidul atau tokoh mitologis penguasa laut selatan.
“Ini bukan masalah musrik dan tidak musrik, persoalannya masyarakat masih mempercayai hal-hal seperti itu sehingga Sultan haruslah sosok laki-laki,” ujarnya. Sehingga dalam tradisi suksesi keraton selama ini biasanya ditandai dengan penyerahan keris Joko Piturun kepada calon sultan berikutnya. Keris Joko Piturun menurut Muhaimin sudah menjadi lambang jika penerus Sultan musti seorang laki-laki.
“Kalau nanti rajanya perempuan, apa nanti yang diserahkan keris ‘Perawan Piturun’?” ujarnya.
Muhaimin pun menuturkan, secara teologis pun ketika Sultan Keraton menyandang gelar khalifah, dalam sejarah kekhalifahan sejak khalifah Urosidin, lalu Umar Usman Ali, dan berlanjut Bani Umayah dengan sembilan khalifah, kemudian khalifah Abbasiyah sampai Turki Usmani tidak pernah raja dijabat seorang perempuan.
Muhaimin pun menyebut Sultan HB X sendiri juga pernah menyebutkan bahwa seorang Sultan harus seorang laki-laki yang menganut asas ‘Cemani Jalu Jati’. Cemani dipahami sebagai sifat hitam yang bermakna kematangan, jalu berarti seorang laki-laki dan jati berarti sejati.
“Jadi jika mem-perempuan-kan Keraton Yogya artinya melakukan perkosaan peradaban,” ujarnya.
Adik tiri Sultan HB X, Gusti Bendoro Pangeran Hario Cakraningrat yang menerima maklumat itu menuturkan akan segera menyampaikan kepada para keturunan Sultan HB IX yang jumlahnya 15 orang, tidak termasuk Sultan HB X.
“(Maklumat) ini sebagai modal kami untuk memulai lagi merembug persoalan keraton ke depan, khususnya soal siapa yang akan ditunjuk sebagai pengganti HB X,” ujarnya.