Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Hukum Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat mendadak pada masa reses, dua hari lalu. Mereka tiba-tiba melanjutkan pembahasan rancangan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat itu tak dihadiri sebagian besar anggota Komisi III DPR. Sebagian dari mereka masih berada di daerah pemilihan maupun tengah berada di luar negeri. Anggota Komisi Hukum yang hadir juga mendapat informasi ihwal kelanjutan rapat lewat telepon dari Sekretariat DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi III, Sarifuddin Sudding, mengaku mendapat undangan rapat lewat telepon dari Sekretariat Dewan. Politikus Partai Amanat Nasional ini membenarkan bahwa banyak anggota Komisi Hukum tidak mengikuti agenda lanjutan pembahasan revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut.
“Cuma saya tidak tahu, apa mereka diundang atau tidak,” kata Sarifuddin, Selasa, 14 Mei 2024.
Anggota Komisi III dari PDI Perjuangan, Arteria Dahlan; Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat; dan Taufik Basari dari Partai NasDem mengaku tak mendapat pemberitahuan ihwal kelanjutan pembahasan revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Arteria mengatakan pembahasan tanpa kehadiran semua anggota Komisi Hukum itu tak perlu dipersoalkan. Sebab, semua perwakilan fraksi di Komisi III sudah menyetujui hasil pembahasan revisi keempat UU MK pada tingkat pertama dalam rapat terakhir sebelum reses. Hanya, kelanjutan pembahasan itu tertunda karena perwakilan pemerintah meminta waktu sebelum menandatangani kesepakatan rapat tingkat pertama tersebut.
“Kalau sekarang pemerintah oke, ya, enggak masalah. Ini kan in line dengan rapat terakhir yang semua fraksi sudah oke,” kata Arteria.
Seorang anggota Komisi Hukum DPR mengatakan memang tidak semua koleganya di Komisi Hukum diundang untuk menghadiri pembahasan pada Senin lalu tersebut. Meski begitu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sudah memberi tahu ke anggota Komisi III bahwa pimpinan DPR telah menyetujui kelanjutan pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi antara Komisi Hukum dan pemerintah tersebut.
“Silakan ditanyakan ke Dasco apakah dia meminta Sekretariat DPR menghubungi semuanya datang atau tidak,” kata anggota Dewan ini.
Dasco mengatakan pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi pada masa reses tersebut sudah mendapat izin dari pimpinan DPR. ‘Kalau ada pembahasan pada masa reses, seharusnya sudah izin pimpinan,” kata Dasco, Selasa kemarin.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra ini mengatakan DPR tinggal mengagendakan rapat paripurna pengesahan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Tapi ia belum dapat memastikan jadwal paripurna DPR.
Suasana sidang putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, 2 April 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Tempo memperoleh draf terakhir Rancangan Perubahan Keempat UU Mahkamah Konstitusi. Tiga sumber Tempo menyebutkan draf terakhir itu yang menjadi kesepakatan antara Komisi Hukum DPR dan pemerintah dalam pembahasan tingkat pertama.
Dalam draf tersebut, DPR dan pemerintah sepakat merevisi tiga pasal dalam UU Mahkamah Konstitusi, yaitu Pasal 1, 23, dan 87. Mereka juga menambahkan dua pasal baru, yaitu Pasal 23A dan 27A.
Pasal-pasal itu mengatur mengenai masa jabatan hakim konstitusi, keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan pemberhentian hakim konstitusi. Pasal 23A mengatur masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun, tapi setelah 5 tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul. Perpanjangan jabatan hakim konstitusi menjadi 10 tahun harus mendapat persetujuan lembaga pengusul.
Aturan peralihan dalam Pasal 87 mengatur bahwa hakim konstitusi yang menjabat 5 tahun sampai kurang dari 10 tahun hanya dapat melanjutkan jabatannya setelah mendapat persetujuan lembaga pengusul. Lalu untuk hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari sepuluh tahun, masa jabatannya akan berakhir pada usia 70 tahun.
Sarifuddin Sudding, yang dimintai konfirmasi, membenarkan soal substansi hasil kesepakatan Komisi Hukum DPR dan pemerintah dalam rapat tingkat pertama tersebut. Sejumlah sumber Tempo di DPR dan pemerintahan mengatakan revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi atas uji formil Undang-Undang Cipta Kerja pada 2021. Saat itu Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena pembuatannya tidak memenuhi partisipasi publik yang bermakna dan metode pembuatan undang-undang secara omnibus tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi lantas memerintahkan DPR dan pemerintah agar memperbaiki UU Cipta Kerja paling lambat dua tahun sejak putusan tersebut dibacakan.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu berimbas pada penggantian Aswanto sebagai hakim konstitusi, September 2022. Guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, itu menjadi hakim konstitusi atas usulan DPR. Selanjutnya Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah.
Saat itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan alasan penggantian Aswanto adalah acapkali menganulir produk-produk DPR, padahal mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu merupakan representasi DPR di Mahkamah Konstitusi. Alasan lain ialah adanya surat Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman.
“Ya, gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia. (Padahal) dia wakilnya dari DPR,” kata Bambang Wuryanto, akhir September 2022.
Hakim Konstitusi Anwar Usman di sela berlangsungnya sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di ruang sidang panel 3, Gedung MK, Jakarta, 30 April 2024. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Dua sumber Tempo mengatakan Presiden Joko Widodo juga sempat ingin mengevaluasi tiga hakim konstitusi yang berasal dari usulan presiden. Ketiganya adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Tapi langkah itu urung dilakukan dan memilih jalur revisi UU Mahkamah Konstitusi.
Perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut sarat politik karena hanya menyasar masa jabatan hakim konstitusi. Padahal revisi kedua dan ketiga undang-undang tersebut, yang menambah masa jabatan hakim konstitusi menjadi maksimal 15 tahun atau sampai usia 70 tahun, juga berasal dari DPR. Revisi saat itu diduga sebagai barter agar Mahkamah Konstitusi mengamankan berbagai produk undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah.
Di tengah pembahasan revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan saat itu, Mahfud Md., menolak revisi tersebut. Penolakan itu khusus pada ketentuan dalam aturan peralihan di draf revisi. "Belum ditandatangani karena masih berkeberatan terhadap aturan peralihan," kata Mahfud, Desember 2023.
Pembahasan revisi undang-undang ini kembali berjalan setelah pemilihan presiden 2024. Mahfud juga tak lagi menjabat Menkopolhukam karena mundur dengan alasan berkonsentrasi dalam pemilihan presiden. Mahfud menjadi calon wakil presiden dari Ganjar Pranowo. Pengganti Mahfud adalah Hadi Tjahjanto.
Presiden Jokowi enggan mengomentari revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut. “Tanya ke DPR,” kata Jokowi setelah mengunjungi Pasar Sentral Lacaria, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, kemarin.
Ancaman Independensi Mahkamah Konstitusi
Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah berpendapat bahwa perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi tersebut sarat motif politis. Sebab, substansi revisi hanya menyasar urusan masa jabatan dan batas usia hakim konstitusi. Lalu memberi kewenangan kepada lembaga pengusul, yaitu DPR, presiden, dan Mahkamah Agung, untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi di tengah jalan.
“Ini seperti upaya untuk mengendalikan hakim konstitusi,” kata Herdiansyah. Ia juga menilai aturan itu akan membuat hakim konstitusi mudah dipengaruhi agar dapat sejalan dengan agenda kepentingan lembaga pengusulnya.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, ragu akan klaim DPR dan pemerintah bahwa revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi itu akan memperkuat independensi dan akuntabilitas Mahkamah Konstitusi. Susi justru menilai ketentuan dalam Pasal 23A itu bakal menjadi pintu bagi lembaga pengusul untuk mengevaluasi hakim konstitusi yang tidak sejalan dengan mereka.
"Kalau tujuannya untuk mengevaluasi, seharusnya dilakukan terhadap undang-undangnya, bukan pada hakim," kata Susi.
Susi menilai poin-poin dalam draf revisi keempat yang menjadi kesepakatan DPR dan pemerintah itu sangat berpotensi terjadi konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan lembaga pengusul. "Saya khawatir MK malah akan melemah setelah revisi ini disahkan," kata Susi.
Adapun Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan pengesahan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu nantinya berdampak pada rusaknya integritas Mahkamah Konstitusi maupun tatanan kekuasaan DPR dan pemerintah.
“Jika legislatif dan eksekutif bisa mengatur yudikatif, siapa lagi yang akan dipercaya untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum?” kata Agung.
Ia berpendapat bahwa keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif seharusnya tetap dijaga dalam sistem demokrasi. Apalagi ketiga lembaga itu memiliki peran masing-masing dalam pemilu.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan UU Mahkamah Konstitusi saat ini masih relevan untuk digunakan. Sehingga ia menduga revisi keempat UU Mahkamah Konstitusi ini dilandasi kepentingan politik. Ia menegaskan, di seluruh dunia tidak ada pengadilan yang bisa dievaluasi oleh lembaga politik. "Ini tentu berbahaya bagi independensi pengadilan," kata Jimly.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sultan Abdurrahman, Daniel Ahmad Fajri, dan Hendrik Yaputra berkonstribusi dalam penulisan artikel ini.