Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah terpuruk, tertimpa masalah dana hibah pula. Begitulah nasib tim kesebelasan kebanggaan warga Surabaya, Persebaya 1927. Prestasi tim yang didirikan Paijo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927 ini tak kunjung mencorong, termasuk di Liga Prima Indonesia (LPI) yang mereka ikuti.
Di klasemen LPI saat ini, untuk sementara, kesebelasan yang diperkuat pemain nasional Andik Vermansyah itu berada di peringkat keempat. Kualitas yang tidak yahud kian terlihat saat Persebaya 1927 dijatuhi sanksi oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia pada akhir Agustus lalu. Bersama lima klub lain, poin Persebaya 1927 dikurangi plus didenda jutaan rupiah.
Menurut Hinca Pandjaitan, Ketua Komisi Disiplin PSSI, keenam tim dinilai melanggar Kode Disiplin PSSI Pasal 57 ayat 3, yaitu berkelakuan buruk dan tidak melaksanakan pertandingan. Persebaya sempat sekali kalah karena melakukan walkover (WO). "Kesebelasan ini dikurangi 3 poin dan didenda Rp 100 juta."
Sanksi PSSI itu melengkapi kisah kelabu Persebaya. Pada saat hampir bersamaan, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur turun tangan mengusut duit hibah miliaran rupiah dari Pemerintah Kota Surabaya kepada tim yang bermarkas di Jalan Karanggayam Nomor 1, Surabaya, ini. Pada akhir Agustus lalu, jaksa memeriksa Wastomi Suhari dari Badan Pengawas Persebaya 2009-2010.
"Ia dimintai keterangan karena dinilai banyak tahu soal penggunaan dana klub," kata sumber Tempo di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Wastomi, yang kini menjabat Ketua Yayasan Suporter Surabaya, berada di ruang intelijen kejaksaan selama tiga jam. Ia keluar sebelum azan salat Jumat berkumandang. Kepada wartawan yang mencegatnya, Wastomi membantah jika disebut dimintai keterangan soal dugaan korupsi dana hibah untuk Persebaya 1927. "Saya mampir saja, ingin ketemu teman-teman lama," ujarnya.
Pekan-pekan ini kejaksaan sedang mengumpulkan data dan bukti dugaan penyalahgunaan uang rakyat oleh pengurus Persebaya 1927. Penyelidikan itu merupakan tindak lanjut laporan lembaga swadaya masyarakat Aliansi Masyarakat Anti-Korupsi ke Kejaksaan Agung pada 29 April 2013.
Pengaduan itu menyebutkan pengurus Persebaya 1927 telah menyelewengkan dana hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Surabaya 2009 sebesar Rp 11 miliar. Padahal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2007 jelas-jelas mengharamkannya. Kejaksaan Agung pun memerintahkan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengulik perkara itu. "Kami sedang mendalami kasusnya," kata Muljono, Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Masalah berawal menjelang kompetisi Liga Super Indonesia 2009/2010 bergulir. PSSI mensyaratkan kepada semua peserta liga agar berbadan hukum perseroan terbatas. Untuk memenuhi syarat itu, pada 16 Juli 2009 Persebaya membentuk PT Persebaya Indonesia dengan Akta Notaris Nomor 24, yang diterbitkan notaris Justiana, SH, di Jalan Ratna Nomor 14.
Berdasarkan akta tersebut, PT Persebaya Indonesia didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan nomor AHU-42710.AH.01.01 pada 11 Agustus 2009. Adapun komposisi pemegang sahamnya adalah Saleh Ismail Mukadar sebesar 55 persen, Cholid Goromah 25 persen, dan Koperasi Surya Abadi Persebaya 20 persen.
Nah, pada tahun yang sama, Pemerintah Kota Surabaya mengucurkan dana hibah Rp 28,8 miliar kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) setempat untuk biaya pembinaan 41 cabang olahraga. Dari dana itu, Rp 17,3 miliar di antaranya dialokasikan untuk PSSI Surabaya. Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Anti-Korupsi Ponang Adji Handoko, Saleh Mukadar, yang saat itu menjabat Ketua PSSI Surabaya sekaligus Manajer Persebaya, mengambil Rp 11 miliar dari dana tersebut untuk membiayai Persebaya 1927.
Dari penelusuran Aliansi, Persebaya 1927 hanya melaporkan penggunaan dana Rp 5,046 miliar dari total yang dipakai.Uang itu digunakan untuk gaji dan bonus pemain sebesar Rp 4,8 miliar, laga tandang Rp 68.521.508, transportasi Rp 104.700.500, dan pengeluaran tim Persebaya U-21 Rp 301.354.709. Adapun penggunaan sisanya tidak dilaporkan. Ponang mensinyalir sebagian dana itu dipakai untuk menggaji pemain, pelatih, dan ofisial sebesar Rp 1,8 miliarserta belanja pelaksanaan pertandingan di kandang dan tandang Rp 4,4 miliar.
Pembina Aliansi, I Wayan Titib Sulaksana, menambahkan, selain Saleh dan Cholid, Wali Kota Surabaya saat itu, Bambang Dwi Hartono, harus bertanggung jawab atas penggunaan dana hibah tersebut. Sebab, sebagai kepala daerah, Bambang—rekan separtai Saleh di PDI Perjuangan—dianggap telah memberi peluang terjadinya korupsi. "Karena pelanggaran atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2007 berimplikasi korupsi," ucap Wayan.
Bambang juga dinilai mengabaikan surat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Rasiyo tertanggal 25 September 2009. Surat Rasiyo yang dikirim sebagai balasan surat Bambang tertanggal 2 September 2009 itu pada intinya melarang dana hibah KONI dipakai membiayai sepak bola profesional, terutama untukkontrak pemain. Namun Bambang mengabaikan peringatan itu.
Saat dimintai konfirmasi, Bambangmenilai kasus dana hibah untuk Persebaya 1927 telah digoreng oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerangnya. Intensitasnya makin kencang ketika dia maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur 2013-2018, yang pemilihannya berlangsung pada 29 Agustus lalu. Padahal, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, penggunaan dana hibah 2005-2009 tidak ditemukan penyimpangan. "Sasaran serangan itu sebenarnya ke saya karena saya ikut pemilihan Gubernur Jawa Timur," kata Bambang, yang akhirnya kalah dalam pemilihan. "Saleh Mukadar itu hanya sasaran antara."
Saleh mengiyakan pernyataan koleganya itu. Dia balik mempertanyakan upaya penegak hukum terhadap klub-klub profesional lain yang masih menikmati APBD setelah 2009. Sebab, sejak tahun itu, Persebaya 1927 berhenti menggunakan uang daerah. "Kenapa kejaksaan tidak menyentuh pengurus Persebaya pada 2006-2007, yang juga sama-sama memakai APBD?" ujar Saleh. "Saya melihat kasus ini seribu persen bermuatan politis karena kami bukan kader partai penguasa."
Menurut Saleh, pada 2011, aparat kejaksaan tinggi pernah meminta keterangan dari dirinya dan Cholid Goromah. Saat itu, tak ada pemberitahuan bahwa kasusnya akan dilanjutkan.
Walau tidak memungkiri menggunakan dana APBD Surabaya untuk membiayai operasional Persebaya 1927, Saleh menampik disebut melakukan korupsi. Alasannya, suntikan dana APBD buat mengarungi satu musim kompetisi tersebut masih kurang sehingga ia harus pontang-panting cari pinjaman. Salah satunya meminjam kepada pengusaha Arifin Panigoro sebesar Rp 700 juta. "Uang pribadi saya amblas, mobil terjual, utang numpuk, kok malah dituduh korupsi?" ujarnya.
Saleh menduga diangkatnya kembali perkara ini tak lepas dari konflik di tubuh Persebaya. Tim versi Divisi Utama pekan lalu promosi ke Liga Super Indonesia disokong oleh Ketua Badan Tim Nasional PSSI La Nyalla Mahmud Mattalitti—notabene seteru Saleh Mukadar. "Ada yang memanfaatkan," kata Saleh.
Dihubungi terpisah, La Nyalla membantah "bermain" di balik kasus tersebut. Dia mengatakan sejak awal tidak mengikuti kasus itu karena enggan mencampuri urusan hukum. "Kasus itu murni masalah hukum. Buat apa saya ngurusi masalah begituan?" ujar La Nyalla.
Untuk menjawab keresahan Saleh dan kawan-kawan, temuan kejaksaan tinggi mengenai penggunaan dana hibah tersebut akan menjadi kunci. Sayangnya, menurut Mulyono, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, "Saya belum bisa memberikan keterangan apa pun sebelum penyelidikan tuntas."
Dwi Wiyana, KUKUH S. Wibowo, Agita Sukma, Arief Rizqi, Arie Firdaus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo