Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATAS pemuatan artikel Tempo berjudul “Bagaimana Pratikno Menjadi Operator Politik Jokowi” pada Minggu, 28 Januari 2024, dan tayangnya siniar Bocor Alus Politik di YouTube, dengan ini saya ingin menyampaikan hak jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Pemberitaan yang menyebutkan bahwa saya (Ario Bimo Nandito Ariotedjo atau Dito Ariotedjo) menerangkan pernah ada pertemuan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proyek base transceiver station di kantor Menteri Sekretaris Negara tidak benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
2. Saya tidak pernah melakukan pertemuan tersebut baik yang bersifat sengaja maupun kebetulan.
3. Saya tidak pernah memberikan keterangan mengenai apa yang diberitakan tersebut di lembaga penegak hukum mana pun, di kejaksaan ataupun dalam persidangan/pengadilan.
Dengan beberapa poin keterangan hak jawab saya di atas, saya meyakini pemberitaan yang sebelumnya disampaikan majalah Tempo dan Bocor Alus tidak akurat dan tidak benar sehingga berpotensi menyesatkan publik.
Saya percaya Tempo sebagai media yang kredibel serta mengutamakan informasi yang tepat dan akurat dari sumber hingga pemberitaan. Untuk itu, saya harap dengan adanya hak jawab ini Tempo memberikan klarifikasi dalam siniar Bocor Alus berikutnya dan koreksi atau klarifikasi atas pemberitaan tersebut.
Ario Bimo Nandito Ariotedjo
Menteri Pemuda dan Olahraga
Terima kasih. Sanggahan Anda sudah kami tayangkan di artikel dan siniar tersebut.
Kemaruk
DALAM masyarakat hedonistik seperti saat ini, muncul sifat kemaruk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sifat kemaruk diartikan “selalu ingin mendapat banyak; loba”. Sifat itu tidak hanya dalam hal keinginan mempunyai harta benda seperti rumah atau mobil, tapi juga hasrat memiliki kekuasaan.
Budayawan Triyanto Triwikromo memberikan ulasan menarik tentang sifat kemaruk. Jika seseorang sesungguhnya hanya membutuhkan satu tapi menginginkan dua, tiga, empat, dan seterusnya, orang tersebut bisa disebut kemaruk. Jika diberi hati tapi merogoh ampela, itu juga dianggap kemaruk. Seseorang yang seharusnya berkapasitas prajurit tapi kemudian dengan segala cara yang buruk merebut jabatan orang lain sebagai patih, bahkan ratu, orang itu juga sangat bisa disebut kemaruk.
Selanjutnya, menurut Triyanto, dalam kehidupan modern, bisa dilihat sosok-sosok kemaruk: baru jadi wali kota sudah mengincar posisi gubernur, baru jadi gubernur mau jadi presiden, baru jadi presiden satu kali, ingin dua kali, lalu pengin seumur hidup jadi presiden. Penyair Goenawan Mohamad pernah menyatakan “hasrat kekuasaan itu menjarah ke mana-mana”. Kemaruk bisa muncul sebagai tindakan yang tidak disadari. Kemaruk juga bisa muncul pada orang yang semula baik-baik saja.
Kemaruk identik dengan serakah. Dalam konteks kekuasaan, seorang raja bisa menjadi kemaruk karena patih, prajurit, anak, istri, adik, kakak, dan orang-orang terdekat membiarkannya demikian, membiarkan sang raja mati akibat kekuasaan. Jadi, jika ada yang kemaruk, tugas kemanusiaan kita hanyalah mengingatkan. Semoga dalam pemilihan umum yang akan datang masyarakat bisa memilih tokoh yang punya hati nurani membela rakyat banyak menuju kemakmuran dan keadilan, bukan memilih orang yang kemaruk pada kekuasaan.
Kosmantono
Purwokerto, Jawa Tengah
Hak Berbicara
STANDAR kebebasan hak berbicara disampaikan Noam Chomsky, ahli bahasa, sejarawan, dan aktivis politik dari Amerika Serikat: “If you’re in favor of freedom of speech, that means you’re in favor of freedom of speech precisely for views you despise.” Artinya kurang-lebih: “Jika Anda menyukai kebebasan berpendapat, Anda harus menyukai kebebasan orang yang pendapatnya tidak Anda sukai.” Maknanya, sikap saling menghormati dan menghargai dalam berpendapat dan berbicara harus dijaga, serta menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam demokrasi di Indonesia, terutama sejak Reformasi, kebebasan hak berpendapat dan berbicara dijamin sepenuhnya oleh undang-undang. Berbicara bisa berupa kritik yang membangun atau memberikan saran yang bermanfaat. Bukan asal berbicara atas nama demokrasi dan kebebasan. Namun, khusus dalam berbicara dengan mengatasnamakan kritik, sepertinya sering terjadi distorsi.
Sebab, batas mengkritik dan menghina atau menyebarkan kebencian tipis, sulit dibedakan terutama oleh yang rendah tingkat literasinya. Orang-orang cerdas bisa menyampaikan kritik dengan baik dan santun tanpa mengurangi maksud dan tujuan kritik tersebut. Mereka bisa memberikan kritik yang keras, tajam, dan terarah dengan bahasa yang baik dan benar, juga disertai data yang akurat.
Orang-orang bijaksana biasanya tidak tertarik menanggapi penghinaan. Sebab, apabila mereka terpancing, berarti tingkat kredibilitasnya kurang-lebih sama saja, dan memang itulah yang menjadi tujuannya. Semoga saja para anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu 2024 memahami dengan baik kebebasan hak berbicara.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Demokrasi Semu
ARTIKEL Rendy Pahrun Wadipalapa dalam Koran Tempo 22 Januari 2024 berjudul “Kebangkitan Kembali Gagasan The Lesser Evil” layak dibaca serta dijadikan bahan perenungan kita bersama. Rendy menunjukkan bahwa para pemilih dihadapkan pada keterbatasan dalam pemilihan kandidat. Dalam paragraf penutupnya ia menulis: “Frustrasi politik semacam ini bukan hanya secara kurang ajar mendudukkan para pemilik suara dalam posisi subordinat yang lemah, tapi juga karena ujung dari pertentangan antar-kandidat tak dapat ditebak”.
Di Amerika Serikat, perilaku ini ditunjukkan oleh Ron DeSantis saat ia berjuang untuk memenangi nominasi Partai Republik menjelang pemilihan presiden. Saat tertinggal jauh oleh Donald Trump yang meraih lebih dari 50 persen suara di Iowa, dia mengundurkan diri dan beralih mendukung Trump serta tak menjadi pesaing lain yang juga kalah, Nikki Haley.
Di Indonesia, kita dapat melihatnya dari sisi kacamata keprihatinan Mochtar Pabottingi yang menyampaikannya dalam satu kalimat: pengkhianatan terhadap hak demokrasi rakyat banyak di negeri tercinta ini. Digambarkannya, antara lain, tentang kemerdekaan pengkhianatan karena di sini pengkhianatan sudah kian menjadi pakem perilaku para pelaksana negara. Di setiap negara yang lebih tegar menjunjung keadilan bagi segenap warganya, kemerdekaan akan lebih maju ke arah pembangunan keadaban. Tapi, di tiap negara yang lebih melecehkan keadilan, kemerdekaan akan lebih beregresi menuju kebiadaban.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
Koreksi Peneliti Gunung Padang
sAYA ingin menyampaikan bahwa ada kesalahan dalam Opini Tempo edisi 29 Januari-4 Februari 2024 yang berjudul “Kontroversi Piramida Gunung Padang”. Informasi pada paragraf pertama, “Pembatalan pemuatan makalah tentang Gunung Padang di sebuah jurnal arkeologi bergengsi dunia…”, dan paragraf kedua, “… pada 1 Desember 2023, John Wiley & Sons, Inc, penerbit jurnal, mencabut artikel tersebut”, tidak benar dan tak sesuai dengan isi artikel Tempo yang berjudul “Mengapa Gunung Padang Diragukan Jadi Piramida Tertua?”.
Makalah kami berjudul “Geo-archaeological prospecting of Gunung Padang buried prehistoric pyramid in West Java, Indonesia” yang diterbitkan di jurnal Archaeological Prospection pada 20 Oktober 2023 tidak dibatalkan atau dicabut publikasinya. Kejadian pada 1 Desember 2023 bukan pencabutan artikel, melainkan pertama kalinya tim investigasi Wiley menghubungi kami via e-mail.
Selain memuat informasi yang salah, beberapa paragraf dalam Opini itu kurang tepat atau terkesan menyimpulkan tanpa alasan yang jelas. Misalnya, “Kesimpulan Danny dan kawan-kawan berpijak pada hasil pemindaian geolistrik, georadar, dan pengeboran geologi”. Penelitian kami bukan hanya geolistrik, georadar, dan pengeboran, tapi juga penggalian parit dan seismic tomography.
Kemudian pernyataan “Kesimpulan adanya sebuah ruang buatan manusia dalam perut Gunung Padang belum teruji” tidak berdasar. Seperti diuraikan dalam makalah, keberadaan ruang terindikasi kuat dengan hilangnya 32 ribu liter air ketika dilakukan pengeboran dan pemindaian bawah permukaan memakai metode geolistrik dan seismic tomography yang sangat komprehensif.
Keterangan “belum ditemukan bukti artefak dari dalam Gunung Padang” dalam Opini juga salah besar. Bukti dan temuan artefak sangat banyak, seperti diuraikan dalam makalah dan ditulis dalam dua artikel Tempo. Lapisan batuan yang sudah disimpulkan disusun manusia (Unit 1, 2, dan 3) adalah “artefak atau fitur arkeologi”. Ditemukan pula artefak-artefak lain, termasuk batu kujang dan kerak logam sisa pembakaran.
Demikian koreksi dari kami, terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
Danny Hilman Natawidjaja (peneliti dan penulis makalah)
Bandung, Jawa Barat
Terima kasih atas penjelasan Anda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo