Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada lebih banyak responden yang menginginkan adanya sertifikasi haram ketimbang cap halal pada makanan dan obat. Jajak pendapat ini berpijak pada rancangan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pembuatan rancangan peraturan pemerintah itu tak kunjung selesai meski telah berselang dua tahun. Penyebabnya adalah kontroversi penerapannya pada produk farmasi. Selain secara keseluruhan keharusan sertifikasi dipastikan mendongkrak ongkos produksi dan berbuntut pada kenaikan harga produk. Sebagai gambaran, Kepala Subdirektorat Produk Halal Kementerian Agama Siti Aminah mengakui butuh tambahan anggaran hingga Rp 114 triliun bagi pemerintah untuk bisa menanggung biaya sertifikasi halal semua produk dari pelaku usaha mikro dan kecil—sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2014 itu. Khusus untuk obat, penerapan label halal juga bisa mengacaukan distribusi obat dalam negeri. Pasalnya, hampir semua zat aktif dalam obat yang beredar di sini berasal dari luar negeri dan belum bersertifikat halal. Hanya satu persen dari 930 zat aktif obat itu yang berasal dari dalam negeri. Satu produk farmasi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengganti materi penyusunnya. Apabila diberi batasan harus memiliki sertifikasi halal pada 2019 seperti yang diatur dalam undang-undang, besar kemungkinan akan ada banyak produk farmasi yang tidak memiliki sertifikasi halal meski bisa dikonsumsi. Ujungnya, pasien akan tambah menderita dan perlindungan kesehatan pasti terguncang. Selain yang dituturkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Kebijakan Publik Danang Girindawardhana: ”Bahan baku industri kita sebagian impor. Kalau semuanya harus disertifikasi, nantinya akan menciptakan kerumitan pasar dunia.” Kebijakan label haram dianggap lebih hemat biaya, mengingat jumlah produk nonhalal lebih sedikit. Penentuan bahan yang mengandung babi, misalnya, juga cukup dilakukan ahli nutrisi dan farmasi, tidak perlu melibatkan ulama seperti sekarang ini. Tentang peran ulama ini, Hasbullah Thabarany, guru besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pernah mengkritik, ”Sejauh mana ulama cukup komprehensif dan memiliki pengetahuan memadai menilai halal-haram obat?”
|
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo