Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Kemdikbud Jelaskan Alasan UN Diganti Asesmen Kompetensi Minimum

Menurut Kemendikbud, Asesmen Kompetensi Minimum dipilih karena UN masih didominasi dengan tingkat kognitif level rendah

20 Desember 2019 | 05.27 WIB

Siswa melintasi pengumuman "harap tenang ada Ujian Nasional" di SMA 68, Jakarta, Senin (16/4). TEMPO/Aditia Noviansyah
Perbesar
Siswa melintasi pengumuman "harap tenang ada Ujian Nasional" di SMA 68, Jakarta, Senin (16/4). TEMPO/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno menjelaskan latar belakang penggantian Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“UN masih didominasi dengan level rendah tingkat kognitifnya. Maka dibutuhkan konten yang ke arah level kognitif lebih tinggi,” tutur Totok. “Bagaimana arah dan strategi  dari asesmen kompetensi minimum sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Bukan soal penghapusan UN-nya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan itu diungkapkan Totok di depan perwakilan guru yang hadir dalam acara Beranda Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang membahas tentang Asesmen Kompetensi Minimum di Kemendikbud, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.

Menurut Totok, dulu mungkin UN merupakan hal yang tepat. Namun dalam perkembanganannya, yang diperlukan siswa bukan lagi penguasaan informasi, tapi bernalar.

Selain itu, Totok melanjutkan, mengutamakan tantangan terhadap penalaran jangan sampai membuat anak stres karena di akhir pendidikan. Hal itu harus diletakkan pada konteks lebih luas yaitu perbaikan kultur belajar, banyak kajian UN telah mengubah pola belajar anak.

Belajar itu tidak hanya tentang latihan soal, harus juga diberikan kuis yang lebih bervariasi. “Jangan malah belajarnya materi UN saja, dan kegiatan lain itu seolah-olah bukan prestasi kalau UN-nya jelak,” kata Totok. “Dan ini harus dikenali oleh guru masing-masing.”

Bahkan karakter anak itu, Totok berujar, yang bisa mengenali adalah guru, yang menentukan anak bisa lanjut atau tidak dan perlu bimbingan. Ujian dalam bentuk apapun, tidak akan mengendepankan pendapat anak.

“Dalam konteks memperbaiki kultur belajar, UN diubah menjadi nalar pemahaman tentang informasi. Tidak hanya sekadar membaca, ada levelnya, memahami dan memaknai bacaan tidak hanya tertulis tapi semua informasi. Numerik, harus mampu menggunakan konsep matematika untuk diterapkan di kehidupan,”

Totok juga mengatakan, yang terpenting adalah bagaimana membuat anak menjadi rajin belajar dan memberikan penjelasan bahwa belajar itu adalah sebuah perjalanan panjang. Tidak boleh hanya pada pengganti Ujian Nasional (UN).

“Belajar itu perjalanan panjang, maka anak harus diberikan tantangan yang tepat setiap saat, kesehariannya harus diberikan tantangam,” ujar Totok.

 

Menurut Peneliti dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Anindito Aditomo, asesmen secara terminologi umum adalah aktivitas sistematis yang dilakukan untuk memahami sesuatu. Asesmen pendidikan di Indonesia itu lebih ingin memahami sebuah unit sekolah atau kualitas suatu daerah.

“Aktivitas sitematis tujuannya untuk memahami. Di sini belum ada tolok ukurnya, ujian bisa dilihat sebagai salah satu bentuk asesmen, ujian adalah asesmen untuk menilai gagal berhasilnya sekolah. Tapi asesmen kompetensi ini lebih umum lagi, tidak selalu berujung pada penilaian gagal berhasil,” kata Anindito.

Yudono Yanuar

Yudono Yanuar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus