Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Konten Viral Tolak WHO Pandemic Treaty Karena Melarang Minum Jamu Ditegaskan Sesat

Larangan disebut berasal dari WHO Pandemic Treaty dan diadopsi dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang bahkan menetapkan denda sebesar Rp 500 juta

23 Mei 2024 | 22.10 WIB

Ilustrasi WHO.  REUTERS/Dado Ruvic
Perbesar
Ilustrasi WHO. REUTERS/Dado Ruvic

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) membantah isi konten viral di media sosial tentang larangan konsumsi jamu dan obat herbal demi mencegah dan merespons lebih baik peristiwa pandemi seperti Covid-19 yang lalu. Larangan disebut berasal dari WHO Pandemic Treaty dan diadopsi dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang bahkan menetapkan denda sebesar Rp 500 juta jika larangan itu dilanggar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Isi konten disebut mengajak untuk menolak WHO Pandemic Treaty itu. "Kenyataannya, (larangan) itu tidak benar ya," kata Inggrid Tania, Ketua Umum PDPOTJI dalam keterangannya yang diterima Tempo, Kamis 23 Mei 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inggrid menegaskan, WHO tidak melarang penerapan pengobatan tradisional dan komplementer, termasuk tidak melarang penggunaan obat tradisional. Bahkan, dia menambahkan, WHO mendirikan Collaborating Centres for Traditional, Complementary and Integrative Medicine. WHO, kata dia, juga memasukkan traditional medicine chapter ke dalam ICD-11 (International Classification of Diseases - 11).

Juga dengan UU Kesehatan 17/2023, Inggrid memastikan tidak benar ada larangan dan penerapan sanksi minum jamu. "Saya berikan info klarifikasi sebagai salah satu pembahas Rancangan UU Kesehatan itu di DPR dan Kemenkes, substansi Obat Bahan Alam dan Pelayanan Kesehatan Tradisional," kata dia.

Dijelaskannya, Pasal 446 UU Kesehatan memang berisi pasal yang menuliskan ancaman kepada tiap-tiap orang yang tidak mematuhi pelaksanaan upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau Wabah. Namun pesan yang disebarluaskan bahwa melarang dan memberikan sanksi Rp 500 juta jika meminum jamu dan obat herbal ditegaskannya sebagai hoax alias sesat.

Menurut Inggrid, UU Kesehatan 17/2023 malah termuat secara eksplisit dukungan terhadap pengembangan dan penelitian serta pemanfaatan obat bahan alam yg terdiri dari jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, dan obat bahan alam lainnya. Bahkan, dia menambahkan, dorongan terhadap pengembangan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional dengan ramuan dan keterampilan pun tertulis secara eksplisit.

"Apabila tidak setuju dengan WHO Pandemic Treaty, itu merupakan pilihan atau preferensi pribadi, tetapi hendaknya tidak perlu disertai alasan yang mengada-aa yang tidak sesuai fakta," kata Inggrid. 

WHO Pandemic Treaty

Dikutip dari Nature, sebuah rumusan kesepakatan pandemi--yang didesain untuk mencegah, mempersiapkan, dan memperbaiki respons dunia terhadap peristiwa semacam penyebaran global Covid-19--sedang dikerjakan WHO untuk produknya dijadikan konvensi PBB, sama halnya seperti konvensi iklim dan akan dibahas berkala. 

Pembahasan dilakukan oleh World Health Assembly (WHA), bagian pembuat keputusan di dalam WHO seperti parlemennya para menteri kesehatan di dunia. Telah berlangsung sejak 2021 lalu, pembicaraan diharap menelurkan teks final pada 24 Mei 2024, atau tiga hari sebelum dimulainya pertemuan WHA di Jenewa, Swiss, pada 27 Mei mendatang.

Disebutkan, pembahasan masih alot antara lain di Artikel 11 dan 12. Yang pertama mengatur transfer teknologi sehingga, saat pandemi, negara-negara berpendapatan rendah dan sedang bisa membuat produk kesehatan yang diperlukan, seperti vaksin, obat, dan alat rapid test, tanpa delay.

Artikel 12 adalah sebuah proposal untuk sebuah sistem yang di dalamnya negara-negara akan langsung berbagi sampel dan data genom sekuensing dari virus yang berpotensi menyebabkan pandemi. Sebagai imbalan untuk berbagi informasi kedaruratan itu, negara-negara berpendapatan rendah dan sedang akan menerima produk penanganan pandemi secara gratis atau murah begitu pandemi dideklarasikan.

Beberapa negara menyatakan tak menolak untuk kewajiban berbagi data saat pandemi, tapi tidak ingin diharuskan berbagi teknologi yang dibuat untuk menggunakan atau mengolah data tersebut. Mereka merasa berkepentingan dalam riset dan pengembangan farmasi masing-masing.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus