Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuat alat deteksi tsunami dan rob yang dinamakan Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut atau disingkat PUMMA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Selama tiga tahun riset berjalan, alat itu sudah dipasang di beberapa tempat, seperti sekitar Gunung Anak Krakatau. “PUMMA dibutuhkan untuk memperkuat sistem peringatan dini di Indonesia,” ujar penelitinya, Semeidi Husrin, di acara Diseminasi Inovasi dan Teknologi Kerja Sama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Jawa Barat dan BRIN secara daring, Kamis, 23 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Semeidi, riset dilakukan usai tsunami Selat Sunda setelah letusan Gunung Anak Krakatau pada Desember 2018, serta tsunami Palu di tahun yang sama.
Kedua kejadian itu, juga tsunami Maluku Tengah pada 2021, tidak terdeteksi alat pengukur yang berbasis kejadian gempa bumi. Sementara tsunami dan rob bisa diakibatkan oleh longsor bawah air, letusan gunung api, dan pengaruh kondisi atmosfer.
Cara kerja PUMMA, menurut Semeidi, yaitu mendeteksi anomali muka air laut seperti tsunami dan rob. Sensor jarak yang digunakan pada alat, akan mendeteksi cepat jika muka air laut tiba-tiba turun atau naik. PUMMA kemudian akan mengirimkan peringatan soal kondisi anomali air laut itu ke server. “Prinsip kerjanya sangat sederhana, komponen alatnya juga,” katanya.
Perangkat itu menggunakan sensor jarak, solar panel untuk energi mandiri, serta mesin atau komputer. Lokasi pemasangannya di infrastruktur yang sudah ada, seperti dermaga atau menara telekomunikasi.
Sejauh ini PUMMA total telah dipasang sebanyak delapan unit di berbagai lokasi. Sistem peringatan dini tsunami dan rob itu, menurutnya, sudah masuk dalam sistem BMKG, Badan Meteorologi Australia, dan IOC Sea Level Monitoring Unesco.
Dimulai dari pemasangan dua unit sejak Januari 2019 di sekitar Selat Sunda, PUMMA juga dipasang sebagai peringatan dini tsunami Gunung Anak Krakatau pada 1 Mei 2022, integrasi sistem peringatan dini tsunami di Pangandaran, serta uji coba pemantauan banjir pesisir atau rob di daerah Muara Gembong Bekasi yang menjadi sentra budi daya udang.
PUMMA mencatat kejadian rob di sana sejak Oktober 2021, juga pada Mei dan Juni 2022. “Hasilnya digunakan para petambak udang untuk memperbaiki konstruksi tanggul,” kata Semeidi.
Deteksi PUMMA ikut teruji oleh letusan gunung api bawah laut Tonga di Samudera Pasifik Selatan pada Januari 2022. Jarak Tonga ke Indonesia sekitar 5.000 kilometer. Anomali muka air laut pasca letusan Gunung Tonga terdeteksi di Prigi, Jawa Timur, Pelabuhan Ratu Sukabumi, juga di Pulau Sibesi Selat Sunda. “Sistem kita mampu mendeteksi tsunaminya walau tidak besar, sekitar sejengkal orang dewasa, pesan deteksi terkirim dengan baik,” ujar Semeidi.
Karakteristik PUMMA, yaitu kerapatan data yang dikirim bisa dalam per 1 detik atau kurang, memantau real time dengan jeda laporan sekitar 30 detik dengan kondisi di lapangan. “Mampu mendeteksi otomatis anomali muka air laut dengan desain algoritma khusus,” katanya.
Kemudian kiriman peringatan anomali itu bisa dikirimkan via e-mail dan handphone. Sementara untuk validasi visual, PUMMA bisa dipasangi kamera pengawas CCTV. “Harga PUMMA sekitar Rp 10 sampai 30 juta,” ujar Semeidi. Alat itu selain dibuat sendiri oleh BRIN yang juga melibatkan beberapa kampus.