Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Produksi Apel Turun, Malang Dirikan Pusat Riset

Pusat riset itu didirikan karena munculnya persoalan dalam budidaya tanaman buah apel.

21 Mei 2015 | 04.35 WIB

Buah apel lokal asal Malang yang dijual di Pasar Johar, Semarang, Jateng, 28 Januari 2015. Dihentikanya impor apel asal Amerika membuat apel lokal membanjiri pasar. Tempo/Budi Purwanto
Perbesar
Buah apel lokal asal Malang yang dijual di Pasar Johar, Semarang, Jateng, 28 Januari 2015. Dihentikanya impor apel asal Amerika membuat apel lokal membanjiri pasar. Tempo/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO , Malang : Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) meresmikan pusat riset dan pengembangan apel. Pusat riset itu didirikan karena munculnya persoalan dalam budidaya tanaman buah apel. Komoditas yang biasa hidup di negara subtropis ini tengah menghadapi masalah rendahnya produktivitas, biaya produksi tinggi, dan menurunnya kesuburan lahan.

"Modal terbatas, sedangkan industri pendukung belum berkembang," kata Ketua Pusat Riset Apel UMM Harun Rasyid, Rabu 20 Mei 2015. Untuk itu perlu usaha intensif untuk mengembangkan budidaya tanaman apel dengan menciptakan sentra tanaman buah apel di lahan baru, sehingga produksi buah apel meningkat dan kualitasnya semakin baik.

Petani akan dibantu teknologi pertanian, perbaikan lahan dan produksi bahan organik. "Juga disiapkan teknologi prapanen, panen dan pascapanen agar buah apel berkualitas," kata Harun.

Pusat penelitian ini akan mengembangkan budidaya apel, dari hulu sampai hilir, yang meliputi agroteknologi untuk menghasilkan apel organik dengan manajemen pengendali hama dan penyakit pada tanaman apel tropis. Untuk pascapanen, akan disiapkan teknologi untuk meningkatkan mutu dan daya simpan buah segar serta membuat olahan apel bernilai ekomomis tinggi.

Petani juga akan dilatih manajemen pemasaran yang berkelanjutan dan promosi untuk meningkatkan konsumsi buah tropis dan kunjungan wisata petik apel. Buah apel tumbuh dan berkembang di Bumiaji Batu, Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, dan Poncokusumo, Kabupaten Malang.

Kesuburan lahan pertanian buah apel semakin menurun akibat penggunaan pupuk kimia. Untuk memulihkan kesuburan tanah, mereka rutin menggerojok dengan pupuk organik berupa kompos dan pupuk kandang. "Tak bisa organik total. Tapi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida terkontrol," kata Bendahara Kelompok Tani Makmur Abadi Batu Pramono.

Pramono cukup bangga pamor usaha wisata petik apel bersinar. Awalnya, wisata petik apel hanya ada di perusahaan besar. Namun, kini sejumlah petani juga membuka usaha petik apel. Bahkan, mereka kewalahan bila tanaman apel habis untuk kunjungan wisata. Dengan wisata petik apel, harga jual apel lebih mahal dibandingkan dijual ke tengkulak.

Luas kebun abel di Batu terus menyusut. Semula 1.900 hektare dan kini menyusut menjadi 1.600 hektare. Jumlah tanaman apel pada 2010 sebanyak 2.604.829, tapi sekarang tersisa 1,4 juta tanaman. Rata-rata produksinya sebanyak 150 ton per bulan.

Menyusutnya lahan pertanian, kata Harun, akibat pemanasan global. Suhu udara di Batu semakin hangat, sehingga produktivitas tanaman turut anjlok. Suhu udara di Batu sekitar 26 derajat Celsius, sedangkan tanaman apel tumbuh dalam suhu 20-21 derajat Celsius. "Pemanasan global terjadi akibat pembukaan lahan hutan pada 1990-an," katanya.

EKO WIDIANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus