Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Masyarakat awam hingga dokter masih banyak yang takut dengan pelayanan diagnostik dan terapi kedokteran nuklir. Menurut akademisi dan praktisinya, mereka selama ini bekerja dengan standar operasional dan keamanan tingkat tinggi agar tidak membahayakan petugas medik dan pasien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Prinsip dasar soal nuklir itu bahaya atau tidak, sama seperti api atau air," kata Guru Besar Kedokteran Nuklir Achmad Hussein Kartamihardja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca: Sejarah Lahirnya Kedokteran Nuklir, Bermula di Bandung
Baca: Kenapa Spesialis Kedokteran Nuklir Masih Langka di Indonesia?
Baca: Perkembangan Kedokteran Nuklir, Dosis Radioaktif Lebih Spesifik
Dari dulu sejak awal didirikan pada 1971 di Rumah Sakit Hasan Sadikin yang kemudian bermitra dengan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, kedokteran nuklir sering digunakan untuk terapi, khususnya pada penyakit tiroid dan hipertiroid yang terkait dengan fungsi kelenjar gondok berlebihan.
"Ke depan nanti untuk meratakan keloid atau bekas luka supaya nggak menjendul atau gatal, biasanya akibat bekas operasi atau luka," kata Hussein di sela pertemuan ilmiah tahunan internasional kedokteran nuklir ke-22 di Bandung, 14-16 September 2018.
Fungsi lain kedokteran nuklir untuk mengobati pasien yang nyeri tulang karena anak sebar kanker. Pada kondisi tertentu dengan pengobatan sekarang, pasien sampai harus diberi morfin agar tidak merasakan nyeri yang hebat. "Jadinya pasien itu mati nggak, hidup juga nggak, karena tidur terus," ujarnya.
Pemanfaatan kedokteran nuklir di Indonesia sejauh ini banyak untuk diagnostik penyakit, sementara untuk terapi masih terbatas. Salah satu faktornya, kata Hussein, karena jumlah ketersediaan alat.
Di Indonesia yang jadi rujukan nasional ada 14 rumah sakit pemerintah dan swasta. "Karena investasi alatnya besar, swasta juga ragu. Nuklir bukan tidak berbahaya tapi bisa dikendalikan dan bermanfaat," katanya.
Pengobatan nuklir, menurut Hussein, lebih sederhana caranya. Misalnya untuk tiroid hanya diberi yodium dengan cara diteteskan 1cc atau disuntikkan. "Nggak seperti di kemoterapi yang perlu diinfus," ujarnya. Target kedokteran nuklir untuk mengobati penyakitnya.
Cara lain terapi dan diagnostik kanker prostat misalnya memakai Prostate-Specific Membrane Antigen (PSMA) Ga 68. Menurut Hussein, PSMA yang bisa spesifik sampai ke kanker prostat dan anak sebarnya itu ikut membawa zat radioaktif. "Dia akan berhenti sampai ketemu sumber kankernya lalu pelacak itu diganti untuk membunuh sel kankernya dengan radiasi," ujar Hussein.
Dampak efek samping jika digunakan sesuai standar relatif minimal. Misal kanker tiroid yang diberi radioaktif iodium lalu dibuang lewat ludah. "Kalau kita nggak kasih tahu pasiennya supaya banyak minum, itu akan tersangkut di sana biasanya bikin sumbatan saluran ludah sehingga mulutnya suka kering," katanya.
Ketakutan orang lainnya soal efek samping kedokeran nuklir yaitu menimbulkan kanker lain, mandul, leukimia. "Sudah banyak studi dan panjang, hasilnya tidak mengkonfirmasi ketakutan itu. Radiasi nuklir tidak berpengaruh secara signifikan," kata Hussein.
Dokter spesialis kedokteran nuklir Ayu Rosemelia Dewi mengatakan, obat yang diberikan ke pasien bisa berbentuk cairan yang bisa diminum atau lewat suntikan, pun ada juga berupa plester. "Penanganannya khusus dan bukan jenis obat rumahan," katanya. Pengobatan hanya bisa berlangsung di rumah sakit, pun membuka plester karena penanganan limbah radiasinya harus khusus.
Ketika menangani diagnostik atau terapi, dokter tidak selalu harus memakai baju pelindung antiradiasi. "Kalau konsultasi dengan pasien atau foto tiroid jantung atau tulang nggak perlu," katanya. Pada baju khusus juga dipasang alat pemantau efek radiasi. Biasanya kalau sudah 2-3 bulan, dokter diistirahatkan dulu.
Simak artikel lainnya tentang kedokteran nuklir di kanal Tekno Tempo.co.