Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan penelitian baru, yang diterbitkan dalam jurnal Astronomy & Astrophysics, semua komet kemungkinan berasal dari tempat yang sama. Untuk pertama kalinya, astronom Christian Eistrup menerapkan model kimia pada 14 komet terkenal, dan secara mengejutkan menemukan pola yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Komet melakukan perjalanan melalui tata surya yang terdiri dari es, debu, dan partikel kecil seperti batu. Inti mereka bisa mencapai puluhan kilometer. "Komet ada di mana-mana, dan kadang-kadang dengan orbit yang sangat funky di sekitar Matahari. Di masa lalu, komet bahkan menabrak Bumi," kata Eistrup, dikutip Phys, Senin, 9 September 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Eistrup mengatakan komet berbeda dalam komposisi, tapi biasanya dilihat hanya sebagai satu kelompok bola es. Oleh karena itu, Eistrup ingin tahu apakah komet memang satu kelompok, atau himpunan bagian berbeda.
Bersama tim peneliti di Leiden Observatory, termasuk pemenang Kavli Prize Ewine van Dishoeck, ia mengembangkan model untuk memprediksi komposisi kimia cakram protoplanet, cakram datar gas dan debu yang meliputi bintang-bintang muda. Memahami disk ini dapat memberikan wawasan tentang bagaimana bintang dan planet terbentuk.
Mudahnya, model-model Leiden ini ternyata membantu dalam mempelajari tentang komet dan asal-usulnya. "Bagaimana jika saya menerapkan model kimia yang ada untuk komet?" kata Eistrup yang menempuh gelar Ph.D. di Universitas Leiden.
Eistrup mengatakan akan menarik untuk membandingkan model kimia dengan data yang dipublikasikan tentang komet. "Untungnya, saya mendapat bantuan Ewine. Kami melakukan uji statistik untuk dijabarkan jika ada waktu atau tempat khusus di tata surya kita yang muda, di mana model kimia kita memenuhi data di komet," tutur Eistrup.
Ini terjadi, dan pada tingkat yang mengejutkan, di mana ternyata ke-14 komet menunjukkan tren yang sama. "Ada satu model yang paling pas untuk masing-masing komet, sehingga menunjukkan bahwa mereka berbagi asal mereka," Eistrup menjelaskan.
Dan asal usul itu ada di suatu tempat yang dekat dengan Matahari, ketika itu masih dikelilingi oleh piringan protoplanet dan planet-planet kita masih terbentuk. Model menunjukkan zona di sekitar Matahari, dalam rentang di mana karbon monoksida menjadi es yang relatif jauh dari inti Matahari muda.
Di lokasi-lokasi tersebut, suhunya bervariasi, mulai dari 21 hingga 28 Kelvin, yaitu sekitar minus 250 derajat Celcius. Itu sangat dingin, sehingga hampir semua molekul yang kita kenal adalah es.
"Dari model ini, kita tahu bahwa ada beberapa reaksi yang terjadi di fase es, walaupun sangat lambat, dalam rentang waktu 100.000 hingga 1 juta tahun. Tapi itu bisa menjelaskan mengapa ada komet berbeda dengan komposisi berbeda," ujar Eistrup.
Namun, jika komet berasal dari tempat yang sama, bagaimana mereka berakhir di tempat yang berbeda dan mengorbit di tata surya kita? Meskipun sekarang kita mengira mereka terbentuk di lokasi yang sama di sekitar Matahari, orbit beberapa komet ini bisa terganggu, misalnya oleh Jupiter.
Sebagai layaknya seorang ilmuwan, Eistrup menempatkan beberapa catatan untuk publikasi. "Dengan hanya 14 komet, sampelnya cukup kecil. Itulah sebabnya saya saat ini mencari data tentang lebih banyak komet. Untuk menjalankannya melalui model kami dan menguji hipotesis kami lebih jauh," tutur Eistrup.
Eistrup berharap bahwa para astronom yang mempelajari asal usul tata surya dan evolusinya dapat menggunakan hasilnya. Penelitiannya menunjukkan bahwa komet telah terbentuk selama periode yang mereka pelajari, sehingga informasi baru ini mungkin memberi mereka wawasan baru.
ASTRONOMY & ASTROPHYSICS | PHYS